Selasa, 15 November 2011

BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA

BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA

BADAN EKSEKUTIF
Badan eksekutif di Negara Negara demokratis biasanya terdiri dari presiden , menteri , pegawai negeri sipil dan militer
Presidential : Menteri menteri merupakan pembantu presiden dan langsung dipilih olehnya
Parlementer : Para menteri dipimpin seorang perdana menteri yang bertanggung jawab
terhadap parlemen sedangkan raja dalam monarki adalah bagian dari badan
eksekutif yang tidak tergugat
Badan eksekutif lebih cepat dalam bertindak dan pengambilan keputusan karena anggota yang sedikit sedangkan Legislatif cenderung terlalu lama dalam pengambilan tindakan dan keputusan karena jumlah anggota yang relative banyak
BADAN LEGISLATIF
Legislate : membuat undang undang . Sebutan lain People’s representative Body atau DPR. Teori = rakyat yg berdaulat punya “kehendak” ( general Will ) Keputusan yang diambil DPR merupakan suara yang authentic dari general will tersebut. Badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam bentuk undang undang.
BADAN YUDIKATIF
Trias Politika dalam arti aslinya adalah pemisahan kekuasaan yang mutlak ( separation power ) baik mengenai fungsi dan tugasnya maupun organ yang menjalankan nya . Tapi di zaman modern ini tugas Negara sudah sedemikian kompleks sehingga trias politika hanya diartikan sebagai pembagian kekuasaan ( distribution power ) yang artinya hanya ungsi pokok nya yang dipisahkan sedang selebihnya saling berkaitan satu dengan lainnya.
BADAN YUDIKATIF DI NEGARA DEMOKRASI
Sistem Common law : Menjadikan undang undang yang di buat oleh parlemen serta keputusan keputusan yang telah dirumuskan hakim pada zaman dahulu ( case law , Judge made law ) sebagai sumber hukum yang berlaku. Di Negara Negara yang mempunyai system tersebut tidak memiliki system hukum yang telah dibukukan, Hakim berkedudukan sebagai suara undang undang ( la voix de la loi ) hanya menerangkan saja hukum apa yang berlaku dalam suatu perkara. Sistem ini hampir mirip dengan hukum perdata adat tak tertulis.
Sistem Civil Law : Menjadikan undang undang hanya sebagai satu satunya sumber hukum yang biasa dikenal dengan istilah Positifisme perundang undangan ( legalisme ). Tetapi apabila terjadi sebuah perkara yang tidak diatur dalam undang undang maka hakim bebas memberi keputusan yang tidak terikat oleh keputusan hakim hakim terdahulu ( Precedent ).
Pada dasarnya dalam secara teotitis seorang hakim berhak member keputusan baru terlepas dari jurisprudensi ( keputusan hakim terdahulu terkait masalah yang serupa ) atau undang undang yang biasa mengikatnya.


BADAN YUDIKATIF DI NEGARA KOMUNIS
Pandangan komunis terhadap badan yudikatif didasarkan atas sebuah konsep yang dinamakan Soviet legality, berkaitan pula dengan tahapan tahapan menuju sebuah Negara berpaham komunis yang berawal dari sebuah paham sosisalisme. Adapun realisasi dari sosialisme tersebut merupakan unsure terpenting dalam menentukan kehidupan kenegaraan serta peranan hukum didalamnya. Karena paham itulah maka seluruh aktifitas termasuk alat alat kenegaraan, penyelenggaraan hukum dan badan yudikatif merupakan sarana untuk melancarkan perkembangan kearah komunisme. Adapun tingkat tingkat penerapan nya dalam system hukum berbeda beda menurut tempat.
Hongaria lebih menekankan kekerasan pada musuh musuh komunisme sebagaimana tercantum dalam undang undang pasal 41
Di Uni Soviet system social dan ekonomi sosialis lebih di tekankan, sehingga perlindungan terhadap hak hak asasi di uni soviet hanya sebatas bila kepentingan individu tersebut tidak mengganggu idealism Negara kea rah komunis.
BADAN YUDIKATIF DAN JUDICIAL RIVIEW
Satu ciri yang terdapat di kebanyakan Negara, baik yang memakai system Common Law maupun system Civil Law ialah hak menguji (toetsingscecht) yaitu menguji apakah peraturan-peraturan hukum yang lebih rendah dari undang-undang sesuai atau tidak dengan undang-undang yang bersangkutan. Di Amerika Serikat, India dan Jerman Barat, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk menguji dan menolak pelaksanaan undang undang serta peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan undang undang dasar ( Judicial review )
KEBEBASAN BADAN YUDIKATIF
Dalam doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan maupun sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap Negara hukum, badan yudikatif haruslah bebas dari campuran tangan badan eksekutif. Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bebas di bawah Rule of Law. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislative ataupun masyarakat umum di dalam menjalankan tugas yudikatifnya.
Cara yang dinilai efektif dalam menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif adalah pemilihan pejabat kehakiman dilakukan tidak berdasarkan pemilihan seperti halnya pada jabatan legislative dan eksekutif dengan harapan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh politik suatu massa.
KEKUASAAN BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA
Asas kebebasaan yudikatif di Indonesia berdasarkan pada Pasal 24 dan 25 UUD 45 tentang kehakiman yang menyatakan :” Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu maka harus diadakan jaminan dalam undang undang tentang kedudukan para hakim.”

Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan nya di masa demokrasi terpimpin terjadi beberapa penyelewengan diantaranya
1. Penetapan UU no. 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menyatakan :” Demi kepentingan revolusi, kehormatan bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut campur dalam soal pengadilan.”
2. Pemberian status Menteri pada Ketua Mahkamah Agung. Dengan demikian terjadi peralihan fungsi struktur dari badan yudikatif menjadi badan eksekutif, tetapi kemudian pada masa orde baru mulai di koreksi dan diadakan perubahan.
Akibatnya timbul beberapa aksi atas penyelewengan tersebut diantaranya Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia ( KASI ) yang mendesak pemerintah untuk mengakui adanya hak menguji pada Mahkamah Agung.
Oleh karena itu MPR yang merupakan lembaga tertinggi di Negara melalui sidang ke 4 nya mengeluarkan TAP MPRS no. XIX tahun 1966, tentang peninjauan kembali produk produk legislative di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 45.
KEKUASAAN YUDIKATIF DI INDONESIA SETELAH MASA REFORMASI
kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi. Amandemen Undang-Undang Dasar disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman bab IX membuat beberapa perubahan (Pasal 24 A,B,C) kekuasaan kehakiman terdiri atas mahkamah Agung dan mahkamah konstitusi. Mahkamah agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Tugas mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan meguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
MAHKAMAH KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk :
1. Mengadili pada tingkat pertama yang keputusannya bersifat final :
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
- Memutuskan sengketa kewenengan lembaga Negara
- Memutus pembubaran partai politik
2. Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan Wakilnya.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing- masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, ketua dan Wakil Mahkamah Agung dipilih oleh hakim konstitusi. Hakim tidak boleh merangkap jabatan.
MAHKAMAH AGUNG
Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada di lingkungan militer, agama, umum, dan tata usaha Negara. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang undangan di bawah undang undang terhadap undang undang sesuai pasal 24 A.
Calon hakim agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR , kemudian di tetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
KOMISI YUDISIAL
Suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri, yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rangka menegakkan kehormatan dan perilaku hakim. Anggota KY diberhentikan dan dan diangkat oleh presiden sesuai persetujuan DPR. ( pasal 24 B )
Sesuai amandemen UUD 45, maka terjadi perubahan kekuasaan kehakiman yang menyebabkan timbul beberapa permasalahan diantaranya :
1. Tidak adanya kejelasan status terhadap pengadilan yang sudah ada terlebih dahulu seperti pengadilan niaga, pengadilan Ad Hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syari’ah NAD, dan pengadilan adat otonomi Papua.
2. Belum adanya tempat pengadilan Khusus untuk masalah tertentu seperti korupsi, pertanahan, dan perburuhan.
Karena badan hukum yang sudah ada belum mampu untuk menegakkan supremasi hukum dan modernisasi hukum maka di bentuklah beberapa lembaga lembaga baru
1. KOMISI HUKUM NASIONAL ( KHN )
keputusan presiden nomor 15 tahun 2000 tanggal 18 Februari 2000. Pembentukan komisi ini adalah untuk mewujudkan system nasional demi menegakkan supermasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melibatkan unsure masyarakat.
2. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
Merupakan respon pemerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat terhadap kinerja dan reputasi kejaksaan maupun kepolisian. UU no. 30 tahun 2002
3. KOMINSI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Sebagai mekanisme nasional untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Didirikan pada 15 oktober 1998 berdasarkan KEPRES no. 181 tahun 1998
4. KOMISI OMBUDSMAN ( KON )
Berperan sebagai pemantau pelayanan umum yang di jalankan oleh instansi instansi pemerintah agar berjalan baik.

SistemPolitik Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini
Ginandjar Kartasasmita
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Pendahuluan
Sebuah aspek penting dalam proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat perubahan konstitusi yang muncul  berupa supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, penyelenggaraan otonomi daerah dan pengaturan hal-hal yang mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Semua itu direfleksikan sebagai konsensus politik bangsa yang dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan Undang-Undang Dasar juga telah mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, yang selama ini diselenggarakan oleh  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ciri lain yang sangat penting juga ialah bahwa Presiden sekarang dipilih secara langsung oleh rakyat,  tidak lagi oleh MPR. Lembaga MPR juga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi tetapi hanya salah satu diantara lembaga-lembaga negara yang sejajar. Semangat dalam demokrasi memang tidak boleh mengindikasikan adanya  lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi yang tidak terbatas seperti lembaga MPR di waktu yang lalu.
Reformasi Sistem Ketatanegaraan Melalui Amandemen UUD 1945
Konsensus politik bangsa dalam perubahan sistem ketatanegaraan dapat dilihat dengan perbandingan struktur atau konstruksi kekuasaan di Indonesia saat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Sebelumnya, kita mengenal MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara sedangkan  Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK merupakan Lembaga Tinggi Negara dengan kedudukan yang sama sejajar berada di bawah MPR.  Selanjutnya berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia, institusi tertinggi ialah UUD 1945 itu sendiri (yang sebelumnya adalah MPR), sedangkan semua lembaga-lembaga yang merupakan lembaga negara dengan kedudukan yang sejajar. Lembaga-lembaga itu ialah lembaga legislatif terdiri dari DPR dan DPD yang seluruh anggotanya  bersama-sama berada dalam lembaga MPR; serta lembaga eksekutif yaitu Presiden; serta Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. BPK hadir sebagai  lembaga pengawasan eksternal. Beberapa lembaga yang hadir berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga adalah Komisi Yudisial, suatu komisi pemilihan umum dan suatu bank sentral.
Gambar 1. Struktur Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945
Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum
Perubahan UUD 1945
5_gambar_1a.jpg
 
 
 
 
 
 
 
 
Struktur Ketatanegaraan RI Setelah
Perubahan UUD 1945
5_gambar_1b.jpg
 
 
 


 
 
 
 
Catatan:
Beberapa lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945:
Komisi Yudisial
suatu komisi pemilihan umum
suatu bank sentral
Berbagai Permasalahan Dalam Pelaksanaan UUD 1945 Hasil Amandemen
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hasil perubahan selama empat kali, masing-masing pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara. Pada  pelaksanaannya ternyata UUD 1945 hasil amandemen dihadapkan pada berbagai masalah. Pandangan yang muncul ialah adanya sementara pihak menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli, atau sebelum diamandemen; dan ada pula pihak yang menghendaki penyempurnaan terhadap hasil amandemen UUD berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaannya, yang meskipun belum berjalan namun telah menunjukkan adanya berbagai permasalahan. Beberapa masalah yang menonjol diantaranya indikasi perlu dilakukan reposisi kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial); dan perlu pelurusan format sistem ketatanegaraan (MPR, DPR dan DPD serta MK dan MA), di samping juga peletakan sistem presidensial untuk menjadi lebih wajar (tidak menjadi dominasi DPR). Berbagai persoalan lain seperti hak Presiden untuk menyusun kabinet, pengangkatan pejabat-pejabat yang harus mendapat persetujuan DPR sampai pada proses persetujuan duta besar asing di Indonesia serta hal-hal lain juga muncul ke permukaan. Namun,  pada kondisi sekarang, substansi pokok dalam usul amandemen kelima yang sudah mengemuka adalah mengenai struktur legislatif, untuk penegasan peran legislasi dan pengawasan DPD sebagai  lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan kita.
DPD Dalam Konstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pelajaran dari Dunia Internasional
Kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara di dunia, dimana semangat dan fakta disintegrasi negara menjadi salah satu fenomena mondial yang terjadi pada dasawarsa 90-an. Cukup banyak negara yang pecah berkeping-keping dengan menimbulkan luka mendalam (sering disebut Balkanisasi). Tragedi itu tentu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang menjadi amanat luhur para pendiri negara. Kecenderungan lain yang terjadi di berbagai belahan dunia sejalan dengan gejala demokratisasi, adalah meningkatnya desakan agar daerah-daerah diberi peran lebih besar dan berarti di tingkat nasional, terutama dalam merumuskan dan mengambil putusan tentang kebijakan nasional yang terkait dengan kepentingan dan urusan daerah.
Pelajaran dari Pengalaman Masa Lalu
Selama ini dan telah berlangsung puluhan tahun, kedudukan dan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah sangat besar dan sangat menentukan. Berbagai urusan dan kepentingan daerah ditentukan oleh pusat tanpa cukup mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah. Kemajemukan dan kebhinekaan bangsa kurang dihiraukan sehingga banyak masyarakat di daerah merasa terabaikan dalam kehidupan nasional serta banyak daerah bahkan merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang bersumber dari daerahnya, termasuk dalam pembangunan infrastruktur fisik yang paling nyata dirasakan sangat kurang di berbagai daerah yang secara geografis berada jauh dari pusat pemerintahan nasional. Akibat dari itu memunculkan gerakan separatis di berbagai daerah seperti Aceh dan Papua; kurang berkembangnya demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal; serta berkembangnya gerakan kekecewaan dan protes di daerah-daerah dan menurunnya semangat partisipasi masyarakat. Kemajuan daerah tidak sebanding dengan perolehan dana hasil eksploitasi sumber daya daerah dan terjadi disparitas antar wilayah, kesenjangan pusat dan daerah dan antardaerah yang cukup lebar.

Berdasarkan kondisi dan permasalahan itu pada akhirnya terbangun konsensus politik untuk memperkuat suara kedaerahan sehingga terjadi pembentukan DPD  yang  sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah dan memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional. Pembentukan DPD ini dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada bulan Agustus 2001 dan dengan demikian DPD adalah lembaga yang lahir sebagai produk reformasi untuk menyuarakan kepentingan daerah.

Kita dapat mengidentifikasi dasar pertimbangan pembentukan DPD menurut ciri politik sebagaimana yang telah menjadi konsensus politik bangsa kita, tetapi juga sesungguhnya dapat kita dalami dasar-dasar teoritis yang mendukung keberadaan lembaga DPD tersebut. Secara  teoritis keberadaan DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga legislatif itu sendiri, di samping antarcabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Di samping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan.

Keberadaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan) daerah memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya memberikan implikasi harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD karena Anggota DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh rakyat, berbeda dari pemilihan Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Jelasnya, dapat dilihat dari sisi aspek keterwakilan dan dalam tata cara pemilihan Anggota DPR dan DPD tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Aspek Perwakilan dan Pemilihan
Anggota DPR dan DPD
5_gambar_2.jpg
 
 




 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Keanggotaan DPD untuk pertama kalinya dipilih pada pemilu tahun 2004 yang lalu yaitu berjumlah 128 orang yang terdiri atas 4 orang dari 32 provinsi. Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda belum terwakili. DPD dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang mencerminkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia.

DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.

Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga perwakilan, pembagian tugas dan kerja anggota DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Pembagian tugas di DPD tercermin dari alat-alat kelengkapan yang dimiliki, yakni: Empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya mencakup bidang legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Seluruh anggota, kecuali Pimpinan DPD, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc.

Selain Panitia Ad Hoc, DPD memiliki alat kelengkapan yang secara fungsional mendukung pelaksanaan tugas DPD, yakni Badan Kehormatan yang bertugas menegakkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik anggota DPD; Panitia Musyawarah yang bertugas menyusun agenda persidangan DPD; Panitia Perancang Undang-Undang yang bertugas merencanakan dan menyusun program legislasi DPD; Panitia Urusan Rumah Tangga yang bertugas membantu Pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD; dan Panitia Kerja Sama Antar Lembaga Perwakilan yang bertugas membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral.

Di samping alat kelengkapan tersebut, DPD membentuk Kelompok Anggota DPD di MPR yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan Anggota DPD dan meningkatkan kemampuan kinerja DPD dalam lingkup sebagai Anggota MPR. Di awal pembentukannya, Kelompok Anggota DPD telah berhasil menempatkan dua orang wakilnya untuk duduk sebagai Pimpinan MPR.

Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Di samping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan. Namun menjadi pertanyaan selanjutnya bahwa: Apakah harapan-harapan atas DPD RI tersebut dapat terwujud? Apakah ada keseimbangan antara harapan dan kemampuan yang dimiliki oleh DPD?

Sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, fungsi DPD berdasarkan Pasal 22D UUD 1945:
1) dapat mengajukan RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah);
2)ikut membahas RUU tertentu;
3)memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, dan RAPBN;
4)memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1));
5)melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.
Secara skematis sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Fungsi DPD RI menurut UUD 1945 Pasal 22 D
5_gambar_3.jpg
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambaran itu menunjukkan bahwa ternyata kewenangan yang diberikan kepada DPD hanya sebatas memberi masukan kepada DPR baik dalam bidang legislasi, maupun pengawasan. Hal ini memberikan batasan yang membuat DPD tidak dapat berperan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Pelaksanaanya selama hampir setengah periode DPD berjalan sejak Oktober 2004, telah menunjukkan indikasi kesulitan DPD dalam menyelesaikan secara tuntas aspirasi masyarakat. Oleh karenanya telah tumbuh kekecewaan atas ketidakmampuan DPD mengemban aspirasi dan harapan masyarakat. Persoalannya bukan untuk DPD semata, tetapi pada ketuntasan dalam artikulasi aspirasi rakyat. Untuk itu memang masih sangat dibutuhkan pemahaman tentang konsep sistem ketatanegaraan yang mendasar dengan didukung oleh kesadaran untuk mengerti bahwa ada persoalan dalam konstruksi sistem ketatanegaraan kita. Ada permasalahan dalam sistem ketatanegaraan, yang hanya dapat diselesaikan secara kosntitusional melalui perubahan kelima UUD 1945 dengan dilandasi oleh pemahaman konseptual dan fakta yang ada di lapangan dalam sistem ketatanegaraan kita.
Tinjauan Singkat Sistem Bikameral
Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia.

Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. Karena selama ini kita tidak menganut sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa kita peroleh dari pengalaman kita sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara lain.

Sebagai referensi, kita dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan bahwa dari 54 negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok.  Dari 32 negara yang memiliki sistem bikameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti bahwa sistem bikameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali Mozambique).

Selanjutnya mari kita lihat pada spektrum negara-negara ASEAN. Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masing-masing  Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu di antara lima negara dengan sistem bikameral tersebut.

Dalam “manajemen politik seperti juga dalam bidang administrasi publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih sistem bikameral.

Di sebagian besar negara para anggota mewakili negara bagian, provinsi atau wilayah perwakilan dengan jumlah yang sama. Di sebagian negara lagi jumlahnya proporsional terhadap jumlah penduduk, sedangkan di sebagian lainnya merupakan kombinasi dari kedua kriteria tersebut. Namun ada pula yang dipilih secara nasional (tidak mewakili daerah), atau diangkat atas dasar pertimbangan lain. Keanggotaan majelis tinggi dibatasi dalam periode tertentu, ada yang sama dengan periode DPR namun banyak pula yang berbeda.

Sistem bikameral juga mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson and Mughan: 1999).

Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bikameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok yang lemah. Dari 32 negara demokrasi yang menganut sistem bikameral, antara yang kuat dan yang lemah terbagi sama masing-masing 16 negara (belum termasuk Indonesia).

Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi; makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Itali, Filipina (Mastias dan Grange:1987). Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah anomali karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia  merupakan satu-satunya negara dengan sistem bikameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah.

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan ongkos yang harus dibayar dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat.
Eksistensi dan Pemberdayaan DPD
Eksistensi DPD
Dengan segala keterbatasan dalam kewenangan yang ada, DPD terus berupaya untuk eksis  dan mengartikulasikan aspirasi daerah dengan sebaik-baiknya. DPD juga berupaya untuk mengambil inisiatif untuk terus mendorong ketatalaksanaan hubungan fungsi politik dengan DPR dan dengan Pemerintah atau dalam hal ini Presiden, ditandai dengan agenda politik DPD  berupa konsultasi reguler dengan Presiden dan agenda Pidato Kenegaraan pada bulan Agustus setiap tahun, sejak tahun 2005 (kurang dari satu tahun setelah DPD resmi berdiri). Setelah menjalani separuh masa tugasnya, DPD telah menghasilkan produk-produk politik berupa 106 buah Keputusan DPD yang meliputi: Pengajuan usul RUU inisiatif dari DPD 9 buah RUU antara lain berkenaan dengan pemekaran daerah (Gorontalo),  kepelabuhanan, dan lembaga keuangan mikro yang merupakan kepentingan bagi hampir semua daerah di Indonesia, dan kehutanan. Selain itu juga sudah dihasilkan Pandangan dan Pendapat DPD atas RUU tertentu yang berasal dari Pemerintah maupun DPR, yaitu sebanyak 47 buah; serta Pertimbangan DPD atas RUU bidang Pendidikan dan Agama yang berasal dari Pemerintah maupun DPR sebanyak 4 buah; serta Hasil Pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu sebanyak 30 buah; juga Pertimbangan DPD terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah dan DPR terkait dengan anggaran yaitu sebanyak 16 buah. 
Berbagai Prinsip Pemberdayaan DPD RI
Untuk meningkatkan efektivitas dan pemberdayaan DPD dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, ada beberapa prinsip yang kiranya perlu menjadi pegangan:

  • Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR.
  • Kewenangan legislatif DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang sekarang sudah tercantum dalam UUD, dan itupun tetap bersama (share) dengan DPR (tidak mengambil alih).
  • Kewenangan legislasi DPD tersebut dapat dirumuskan dengan berbagai cara, seperti yang telah berlaku di negara-negara lain, mulai dari hak menolak, mengembalikan ke DPR atau hanya menunda pelaksanaannya.
  • Namun dalam hal kewenangan pengawasan (oversight) DPD harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan DPR, agar supaya pengawasan tersebut bisa efektif. Untuk menghindari terjadinya duplikasi dengan DPR dapat diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antara kedua lembaga tersebut. Misalnya, pengawasan DPD lebih terfokus di daerah dan DPR di pusat.
Pertanyaan selanjutnya sehubungan dengan apa yang berkembang dan apa yang menjadi faktor dasar pembatas ruang gerak politik DPD bagi rakyat banyak, terutama untuk daerah ialah, bagaimana DPD selanjutnya? Apakah dibiarkan seperti sekarang, ditiadakan atau diberdayakan secara lembaga sesuai harapan rakyat daerah?
Upaya Pemberdayaan DPD
Dengan mempertimbangkan harapan masyarakat di daerah yang amat besar terhadap DPD serta legitimasi politiknya yang tinggi, maka dalam rangka upaya untuk lebih memperkuat demokrasi di Indonesia, serta untuk memperkokoh penyelenggaraan otonomi daerah, telah tumbuh prakarsa untuk lebih memberdayakan peran (empowering) DPD, melalui amandemen ke-5 UUD 1945.

Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah ada yang mewakili serta ikut mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan peran daerah dalam penyelenggaraan negara. Kiprah DPD juga diarahkan untuk mengikutsertakan daerah dalam menentukan politik negara dan pengelolaan negara, sesuai ruang lingkup tugas fungsi DPD sebagai lembaga legislatif, yakni membentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan, serta mengambil putusan mengenai besar dan penggunaan anggaran negara (terutama untuk kebutuhan daerah-daerah).

Indonesia merupakan negara besar dalam ukuran penduduk maupun luas wilayah. Dengan beragamnya kepentingan yang dilahirkan oleh sifat multietnis dan multikultur bangsa ini, diperlukan keterwakilan (representation) yang tidak hanya atas dasar jumlah penduduk, tetapi juga atas pertimbangan kewilayahan dan heterogenitas seisi wilayah dan kepentingannya, maka Indonesia membutuhkan sistem bikameral yang kuat.

Pada sisi pandang ini keberadaan fungsi legislasi secara bersama-sama merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia dimana DPR dan DPD dapat  saling mengisi dan memperkuat. Dapat kita lihat bahwa anggota DPR dipilih berdasarkan jumlah penduduk dan melalui partai-partai, maka anggota DPD dipilih berdasarkan keterwakilan daerah dan secara perseorangan. Kedua sistem ini bisa bersifat komplementer, saling mengisi, mengimbangi dan menjaga (check and balance) antar lembaga perwakilan (legislatif) berkembang bersama pemikiran-pemikiran tentang pemberdayaan DPD untuk mencapai fungsi legislasi yang semestinya sesuai kebutuhan (manner) demokrasi,  terindikasi pula kekhawatiran dari beberapa pihak akan adanya bola liar.    Ada kekhwatiran bahwa amandemen UUD 1945 untuk penguatan fungsi DPD akan diikuti dengan bola liar, antara lain misalnya berkaitan dengan Pasal 29 UUD 1945 atau masuknya Piagam Jakarta. Hal tersebut tidak dimungkinkan, karena usulan perubahan subyek di luar usulan resmi sejak awal tidak mungkin dapat berkembang dalam agenda pembahasan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dinyatakan  bahwa:
(1)Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
(2)Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Penutup
Dengan perubahan UUD 1945 Indonesia memasuki barisan negara-negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam lembaga perwakilannya. Sistem bikameral yang efektif akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah dapat terjembatani secara efektif dengan kebijakan di tingkat pusat. Pemberdayaan DPD bukan masalah perebutan kekuasaan atau kepentingan elit politik, tetapi adalah untuk memperkuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan rakyat.

Dengan demikian pada hakekatnya amademen untuk mencapai konstruksi ketatalaksanaan dalam sistem ketatanegaran melalui pemberdayaan DPD bagi kepentingan masyarakat daerah secara luas itu, merupakan prasyarat (pre-requisite), dan seharusnya tidak tertunda-tunda, sebagai salah satu rantai dari rangkaian reformasi yang kita percaya masih terus berlangsung di segala bidang kehidupan di Indonesia. 
 

Jumat, 07 Oktober 2011

Pengantar ilu sosiologi


Posted: 09/03/2011 by deramstudy in Pengantar Ilmu Sosiologi
Sosiologi adalah salah satu dari disiplin ilmu sosial, sehingga ilmu tersebut memerlukan hubungan kerjasama dengan disiplin ilmu sosial § Ekonomi § Geografi § Antropologi § Sejarah §yang lain, di antaranya:   Seni, dll.§ Religi § Budaya § Hukum § Politik §Psikologi

Posted: 09/03/2011 by deramstudy in Pengantar Ilmu Sosiologi
Tujuan Mempelajari Ilmu Sosiologi adalah Untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-pola umum, karena sosiologi meneliti dan mencari apa yang menjadi prinsip atau hukum-hukum umum dari interaksi antar manusia dan juga perihal sifat hakekat, bentuk, isi dan struktur masyarakat. Oleh karena itu diharapkan ilmu sosiologi dapat memberikan wawasan akademis maupun praktis.

Definisi Sosiologi
Posted: 06/02/2011 by deramstudy in Pengantar Ilmu Sosiologi
Kata sosiologi berasal dari bahasa latin socius dan logos. Socius – Sosial artinya masyarakat, Logos artinya Ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mengkaji sosial kemasyarakatan. Penjelasan istilah sosiologi tidak cukup sampai di sini, namun dapat dijabarkan lebih jauh berdasarkan dari beberapa tokoh. Selanjutnya definisi sosiologi menurut para tokoh:
1. Pitirin Sorokin
Sosiologi adalah hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala social.
2. Roucek dan Waren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok.
3. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi social beserta strukturalnya.
4. J. Van Doorn dan J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil dan dinamis.
5. Selo Soemardjan dan Soemardi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial (social strcture) dan proses sosial (social process) termasuk perubahan-perubahan sosial (social change).
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri utama:
a. Sosiologi bersifat empiris artinya didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat dan tidak spekulatif.
b. Sosiologi bersifat teoritis artinya ilmu pengetahuan yang tersusun berdasarkan abstraksi (teori) sebab akibat, sehingga dapat menjelaskan hubungan tersebut.
c. Sosiologi bersifat kumulatif artinya teori-teori yang sudah ada dibangun sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
d. Sosiologi bersifat non-etis artinya bukan mempersoalkan baik-buruk tetapi tujuan menjelaskan fakta secara analitis.
Kata sosiologi berasal dari bahasa latin socius dan logos. Socius – Sosial artinya masyarakat, Logos artinya Ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mengkaji sosial kemasyarakatan. Penjelasan istilah sosiologi tidak cukup sampai di sini, namun dapat dijabarkan lebih jauh berdasarkan dari beberapa tokoh. Selanjutnya definisi sosiologi menurut para tokoh:
1. Pitirin Sorokin
Sosiologi adalah hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala social.
2. Roucek dan Waren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok.
3. William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi social beserta strukturalnya.
4. J. Van Doorn dan J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil dan dinamis.
5. Selo Soemardjan dan Soemardi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial (social strcture) dan proses sosial (social process) termasuk perubahan-perubahan sosial (social change).
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri utama:
a. Sosiologi bersifat empiris artinya didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat dan tidak spekulatif.
b. Sosiologi bersifat teoritis artinya ilmu pengetahuan yang tersusun berdasarkan abstraksi (teori) sebab akibat, sehingga dapat menjelaskan hubungan tersebut.
c. Sosiologi bersifat kumulatif artinya teori-teori yang sudah ada dibangun sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
d. Sosiologi bersifat non-etis artinya bukan mempersoalkan baik-buruk tetapi tujuan menjelaskan fakta secara analitis.




Pancasila Sebagai Etika Politik
Pancasila sebagai Etika politik adalah dasar agi tindakan perilaku politik manusia Indonesia secara individu, kolektif dan institusi yang tertuang dalam norma-norma atau aturan hukum.
ETIKA POLITIK :
- Sistem Etika : KUmpulan asas yang konsisten, koheren, dan terpadu mengenai perilaku manusia dalam bentuk kriteria tindakan atau aturan-aturan perilaku (Hazlit)
- Politik : Konsep-konkonsep pokok yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijaksanaan dan alokasi-alokasi tertentu.
- Etika Politik : Aturan perilaku etis (mengenai baik dan buruk) dalam hubungannya dengan negara, kekuasaan dan pengambilan keputusan secara individual maupun kolektif
- Etika Politik : Kesantunan atau moralitas politik yang mencakup tindakan individual, kolektif, dan struktur/institusi yang adil (Paul/Ricoeu, 1990).

Kewenangan dan Legitimasi
Posted: 08/02/2011 by deramstudy in PENGANTAR ILMU POLITIK
Definisi
Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi
Kewenangan adalah hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik
Prinsip moral – menentukan siapa yang berhak memerintah
- mengatur cara dan prosedur melaksanakan wewenang
Sebuah bangsa atau negara mempunyai tujuan
Kegiatan untuk mencapai tujuan disebut tugas
Hak moral untuk melakukan kegiatan mencapai tujuan disebut kewenangan
Tugas dan kewenangan untuk mencapai tujuan masyarakat atau negara disebut fungsi
Sumber kewenangan
1. Tradisi – keluarga atau darah biru
2. Kekuatan sakral seperti Tuhan, Dewa dan wahyu seperti kerajaan
3. Kualitas pribadi seperti atlit, artis
4. Peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat menjadi pemimpin
5. Instrumental yaitu kekayaan dan keahlian iptek
Tipe kewenangan
1. Kewenangan prosedural yaitu berasal dari peraturan perundang-undangan
2. Kewenangan substansial yaitu berasal dari tradisi, kekuatan sakral, kualitas pribadi dan instrumental
Setiap masyarakat pasti memakai kedua tipe kewenangan ini hanya yang satu dijadikan sebagai yang utama dan yang lain sebagai pelengkap
Peralihan kewenangan
a. Turun temurun – keturunan atau keluarga
b. Pemilihan – langsung atau perwakilan
c. Paksaan – revolusi, kudeta atau ancaman kekerasan.
Sikap terhadap kewenangan
1) Menerima
2) Mempertanyakan (skeptis)
3) Menolak
4) Kombinasi
LEGITIMASI
Definisi
Pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik.
Persamaan antara kekuasaan, kewenangan dan legitimasi karena ketiganya berkaitan dengan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin atau masyarakat.
Perbedaannya kekuasaan adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan politik, sedangkan kewenangan adalah hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik (bersifat top down), adapun legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan kepada pemimpin (bersifat bottom up)
Objek legitimasi
1. Masyarakat politik – krisis identitas
2. Hukum – krisis konstitusi
3. lembaga politik – krisis kelembagaan
4. pemimpin politik – krisis kepemimpinan
5. kebijakan – krisis kebijakan
krisis ini terjadi secara berurutan ketika sudah mencapai krisis kebijakan maka sebenarnya sudah terlewati krisis identitas, krisis konstitusi, krisis kelembagaan dan krisis kepemimpinan. Maka bila semuanya sudah mengalami krisis disebutlah krisis legitimasi.
Kadar legitimasi
  1. pra legitimasi, ada dalam pemerintahan yang baru terbentuk yang meyakini memiliki kewenangan tapi sebagian kelompok masyarakat belum mengakuinya
  2. berlegitimasi, yaitu ketika pemerintah bisa meyakinkan masyarakat dan masyarakat menerima dan mengakuinya.
  3. Tak berlegitimasi, ketika pemimpin atau pemerintah gagal mendapat pengakuan dari masyarakat tapi pemimpin tersebut menolak untuk mengundurkan diri, akhirnya muncul tak berlegitimasi. Untuk mempertahankan kewenangannya biasanya digunakan cara-cara kekerasan.
  4. Pasca legitimasi, yaitu ketika dasar legitimasi sudah berubah.
Cara mendapat legitimasi
1. Simbolis, yaitu memanipulasi kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan dilakukan secara ritualistik seperti upacara kenegaraan, parade tentara atau pemberian penghargaan.
2. materiil/instumental yaitu menjanjikan dan memberikan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs) seperti sembako, pendidikan, kesehatan dll.
3. pemilu untuk memilih orang atau referendum untuk menentukan kebijakan umum.
Tipe legitimasi
  1. Tradisional – tradisi yang dipelihara dan dilembagakan contoh kerajaan
  2. ideologi – penafsir dan pelaksana ideologi, untuk mendapat dan mempertahankan legitimasi bagi kewenangannya juga menyingkirkan pihak yang membangkan terhadap kewenangannya.
  3. kualitas pribadi – kharisma, penampilan pribadi, atau prestasi
  4. prosedural – peraturan perundang-undangan
  5. instrumental – menjanjikan dan menjamin kesejahteraan materiil.
Pemimpin yang mendapatkan legitimasi berdasarkan prinsip tradisional, ideologi dan kualitas pribadi menggunakan metode simbolis. Sedangkan pemimpin hasil dari prinsip prosedural dan instrumental menggunakan metode prosedural dan metode intrumental.
Manfaat legitimasi
  1. menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial
  2. mengatasi masalah lebih cepat
  3. mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik
  4. memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualita kesejahteraan
Krisis legitimasi
  1. peralihan prinsip kewenangan
  2. persaingan yang tajam dan tidak sehat
  3. pemerintah tidak memenuhi janjinya
  4. sosialisasi kewenangan berubah
timbullah kekecewaan dan keresahan yang menimbulkan krisis legitimasi.

Definisi Pengantar Ilmu Politik
Posted: 06/02/2011 by deramstudy in PENGANTAR ILMU POLITIK
Definisi
Pengantar Ilmu Politik
Ilmu Politik adalah ilmu yang mengkaji tentang politik
Terdapat 5 pandangan tentang politik :
1. Klasik
Politik dalam pandangan klasik dikemukakan oleh Arsitoteles, adalah usaha warga negara dalam mencapai kebaikan bersama atau kepentingan umum
Kebaikan bersama ini bisa berupa
- Nilai ideal yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan, kesejahteraan, dll
- Keinginan orang banyak atau keinginan golongan mayoritas
Pandangan politik klasik ini terlalu bersifat filosofis sehingga tidak membumi, tidak melihat realitas.
2. Kelembagaan
Pandangan politik kelembagaan menurut Weber berarti politik berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Negara adalah komuntas manusia yang sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu.
3. Kekuasaan
Pandangan ini dikemukakan oleh Robson, menurutnya politik adalah usaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuiai dengan kehendak yang mempengaruhi.
Kelemahan pandangan ini tidak membedakan aspek politik dengan aspek lain, seperti tokoh agama yang punya pengaruh tidak berarti dia sedang berpolitik.
Selain itu dalam politik terdapat konsep lain selain kekuasaan seperti kewenangan, legitimasi, konflik, dll.
4. Fungsionalisme
Politik dalam pandangan ini berarti merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum.
David Easton “The Authoritative allocation of values for a society
Artinya alokasi nilai-nilai berdasarkan kewenangan mengikat suatu masyarakat.
Harold Lasswell “Who gets what, when, how
Siapa mendapatkan apa kapan dan bagaimana
Siapa bisa orang, lembaga, kelompok, atau bangsa
Apa berati nilai, bisa abstrak seperti keadilan dll, bisa juga konkrit seperti kedudukan, kekayaan dll.
When ukuran orang yang mendapatkan kekuasaan pada waktu tertentu
How cara untuk mendapatkan kekuasaan seperti persuasif atau koersif.
Kelemahan pandangan ini menganggap pemerintah sebagai wasit kepentingan masyarakat, padahal pemerintah sendiri memiliki kepentingan tersendiri.
5. Konflik
Dalam mendapatkan kekuasaan selalu terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan maka lahirlah konflik.
Pandangan ini terlalu menekankan aspek konflik padahal dalam politik ada juga konsensus, kerjasama maupun integrasi.
Jadi politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yagn tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Ilmu politik muncul sejak zaman Yunani dengan adanya polis (negara kota)
Menjadi ilmu yang mapan sejak abad ke-18
Di indonesia juga ada buku tentang ilmu politik seperti kitab negara kertagama dan babad tanah jawi.
Pendekatan dalam ilmu politik
  1. Pendekatan tingkah laku berhubungan dengan fakta, empiris dll.
  2. pendekatan tradisional berhubungan dengan nilai, filsafat.
Ilmu politik berkaitan dengan
a. Negara
b. Kekuatan
c. Pengambilan keputusan (membuat pilihan diantara alternatif)
d. Kebijakan (keputusan yang memiliki tujuan dan cara mencapainya)
e. Pembagian atau alokasi sumber

SEJARAH DAN TEORI ILMU POLITIK
Posted: 06/02/2011 by deramstudy in PENGANTAR ILMU POLITIK
Mengkaji tentang sejarah ilmu politik bisa dilihat dari dua pandangan yaitu pembahasan secara luas atau secara sempit. Secara luas berarti ilmu politik telah ada sejak zaman dahulu berupa pembahasan dalam buku-buku tertentu yang telah dikarang masa lampau, sedangkan secara sempit berarti ilmu politik dilihat dari aspek sistematisasinya sebagai ilmu dan pengakuannya dari aspek akademis.
Sejarah secara luas
Ilmu politik telah ada sejak zaman dahulu, ini bisa dilihat dari karya-karya berikut;
a. Yunani tahun 450 SM terdapat buku karya Herodatus, Plato dan Aristoteles.
b. India tahun 500 SM terdapat kitab Dharmasastra dan arthasastra.
c. Cina tahun 500 SM terdapat tokoh Confucius dan Kung Fu Tzu
d. Arab abad 11 M terdapat karya al-Marwardi berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah
e. Indonesia abad 13 M terdapat kitab Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi.
Sejarah secara sempit
- Abad 18 dan 19 di Jerman, Austria dan Prancis telah muncul pembahasan tentang politik namun masih kental dipengaruhi hukum dan negara.
- Di Inggris Ilmu politik dipengaruhi oleh filsafat moral dan sejarah
- Di Paris Prancis tahun 1870 lahir Ecole libredes Scienies
- Di Inggris tahun 1895 muncul lembaga London School of Economic and Political Science
- Di AS tahun 1858 diangkat Francis Lieber sebagai guru besar Sejarah dan Ilmu politik di columbia College.
- Masih di AS tahun 1904 lahir American Political Science Assosiation (APSA)
- Unesco lembaga dibasah PBB tahun 1948 melahirkan buku Contemporary Political Science
Dalam Buku Contemporary Political Science ini terdapat 4 bidang ilmu politik, yaitu:
1. Teori Politik
2. Lembaga Politik (Undang-Undang, pemerintah)
3. Partai
4. Hubungan Internasional (politik internasional, organisasi, hukum)
TEORI ILMU POLITIK
Teori politik adalah generalisasi dari phenomena-phenomena politik. Teori politik ini terdiri dari :
- Tujuan politik
- Cara mencapai tujuan politik tersebut
- Kemungkinan dan kebutuhan untuk cara tersebut
- Kewajiban dalam mencapai kebutuhan tersebut
Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :
1. Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik. Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan politik sistematis.
2. Non valuational artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa mengaitkannya dengan moral atau norma.
Menurut Harold Laswell terdapat 8 nilai yang dikejar dalam politik, yaitu ;
  1. Kekuasaan
  2. Pendidikan
  3. Kekayaan
  4. Kesehatan
  5. Keterampilan
  6. Kasih sayang
  7. Kejujuran/keadilan
  8. Keseganan
Adapun konsep-konsep dalam ilmu politik senantiasa berkutat dalam masalah:
a. Kekuasaan – sumber kekuasaan – pengaruh – pembuat dan pelaksanan kebijakan
b. Kewenangan – kekuasaan berdasarkan legitimasi
c. Konflik dan konsensus
d. Pengambilan keputusan dan cara mendistribusikan kekuasaan
Ilmu politik tidak berdiri sendiri namun memiiki kaitan dengan ilmu-ilmu lainnya seperti sejarah, filsafat, hukum (tiga ilmu penting yang mempengaruhi politik), sosiologi, antrophologi, ekonomi, geographi dan psikologi sosial.

KEKUASAAN DAN PENGARUH POLITIK
Posted: 06/02/2011 by deramstudy in PENGANTAR ILMU POLITIK
Kekuasaan adalah gejala yang selalu ada dalam proses politik
Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral karena begitu berkaitannya antara keduanya.
Konsep-konsep yang berkaitan dengan kekuasaan
- Influence atau pengaruh, yaitu bagimana seseorang mampu mempengaruhi agar orang lain berubah secara sukarela.
- Persuasi yaitu cara meyakinkan orang dengan memberikan argumentasi
- Manipulasi adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain namun yang dipengaurhi tidak menyadari
- Coersion adalah ancaman atau paksaan agar orang lain sesuai dengan kehendak yang punya kekuasaan.
- Force yaitu tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan. Ini biasanya dilengkapi dengan sejata, sehingga orang lain mengalami ketakutan.
Jadi kekuasaan itu apa?
Kekuasaan adalah kemampuan menggunakan sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga menguntungkan dirinya, kelompoknya atau masyarakat secara umum.
Unsur kekuasaan terdiri dari ;
  • Tujuan
  • Cara
  • Hasil
Oleh karena agar kekuasaan tidak disalahartikan maka perlu difahami makna kekuasaan, yaitu :
1. Kekuasaan adalah hubungan antara manusia
2. Pemegang kekuasaan punya kemampuan mempengaruhi orang lain
3. Pemegang kekuasaaan bisa individu, kelompok, organisasi atau pemerintah
4. Sasaran kekuasaan dapat individu, kelompok, organisasi atau pemerintah
5. Pihak yang mempunyai sumber kekuasaan belum tentu punya kekuasaan, bergantung pada kemampuannya untuk menggunakan sumber kekuasaan itu.
6. Penggunaan sumber kekuasaan dapat dengan paksaan, konsensus atau kombinasi dari keduanaya.
7. Kekuasaan bisa memiliki tujuan yang baik atau juga buruk
8. Berkaitan pula dengan distribusi kekuasaan
9. Kekuasaan digunakan untuk masyarakat umum
10. Sumber pengaruh digunakan mempengaruhi proses politik
Jadi kekuasaan bukan hanya paksaan atau kekerasan atau manipulasi tetapi bisa juga konsensus dan kerelaan
Kekuasaan harus dilihat dari dimensi yang saling melengkapinya, yaitu :
a. Potensial – aktual artinya sumber kekuasaan bila belum digunakan maka masih bersifat potensial bila sudah digunakan berarti sudah aktual.
b. Positif – negatif maksudnya kekuasaan apakah untuk mencapai tujuan tertentu (positif) atau untuk mencegah pihak lain (negatif)
c. Konsensus – paksaan kekuasaan bisa berupa kesadaran dan persetujuan (konsensus) bisa juga dengan ketakutan (paksaan) seperti ketakuatan secara fisik, ekonomi dan psikologis.
d. Jabatan – pribadi, kekuasaan di masyarakat modern adalah kekuasaan karena jabatan sedangkan, bila kekuasaan pribadi itu karena kualitas pribadi seseorang.
e. Implisit – eksplisit kekuasaan bisa secara kasat mata dirasakan atau tidak dirasakan
f. Langsung – tidak langsung, maksudnya seberapa besar efektivitas kekuasaan.
Jadi kekuasaan biasanya berkaitan dengan ;
- Bagaimana dilaksanakan
- Bagaimana didistribusikan
- Mengapa ada yang punya kekuasaan lebih dari yang lain
Sumber kekuasaan terdiri dari ;
1. Sarana paksaan fisik seperti senjata, teknologi dll
2. kekayaan seperti uang, tanah, bankir, pengusaha dll
3. Normatif seperti pemimpin agama, kepala suku atau pemerintah yang diakui.
4. Popularitas pribadi, seperti bintang film, pemain sepakbola.
5. jabatan keahlian seperti pengetahuan, teknologi, keterampilan.
6. massa yang terorganisir seperti organisasi buruh, petani, guru dll.
7. informasi seperti pers yang punya kemampuan membentuk opini publik.
Sumber kekuasaan juga harus dilengkapi dengan
  • waktu dan keterampilan
  • minat dan perhatian
Empat hal ini menjadi penunjang seseorang yang punya sumber kekuasaan menjadi penguasa. Karena kekuasaan cenderung berkembang biak
Sumber kekuasaan dapat digunakan untuk dua hal :
a. Non politik seperti untuk usaha, berbelanja, memberi bantuan dll.
b. Mempegaruhi proses politik dengan syarat :
- Kuat motivasi untuk mencapai tujuan
- Mempunyai harapan untuk berhasil
- Punya persepsi mengenai biaya dan resiko
- Punya pengetahuan tentang cara mencapainya.
Hasil penggunaan sumber kekuasaan bisa dilihat dari :
1- Jumlah individu yang dikendalikan
2- Bidang kehidupan yang dikendalikan
3- Kedalaman pengaruh kekuasaan
Kekuasaan harus didistribusikan dengan cara ;
a- Model elit memerintah
b- Model pluralis
c- Model populis

PENGANTAR ILMU POLITIK
Posted: 06/02/2011 by deramstudy in PENGANTAR ILMU POLITIK

Politik memainkan peranan dan pengaruh yang sangat besar dalam hidup dan kehidupan manusia. Tidak berlebihan bila ada pendapat yang menyatakan bahwa hampir sebagian besar kehidupan manusia ditentukan dan diatur oleh politik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi manusia sebagai zoon politicon. Sebagai suatu ilmu, politik tentu saja memiliki konsep, teori maupun metodologi tersendiri sebagaimana lazimnya ilmu-ilmu yang lain. Berdasarkan hal tersebut, mata kuliah ini disajikan sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana politik yang sebenarnya. Secara spesifik, dalam pengenalan terhadap mata kuliah ini akan dikaji mengenai teori, konsep maupun analisis yang bersifat kritis terhadap 5 (lima) unsur pokok politik, yaitu: negara, kekuasaan, kebijakan, authority of delegation, dan nilai-nilai politik.
Tujuan :
  1. Memberikan wawasan, pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang politik baik sebagai suatu ilmu, sistem maupun proses kegiatan.
  2. 2. Memberikan pemahaman yang komprehensif kepada mahasiswa agar dapat berpikir kritis, partisipasif dan responsif terhadap berbagai persoalan perpolitikan yang terjadi di Indonesia.
Kompetensi :
  1. Mampu berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan politik yang menyangkut aspek-aspek kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
  2. Memiliki kepekaan sosial terhadap situasi dan kondisi yang dialami masyarakat yang disebabkan oleh perubahan kebiajakan politik.
  3. Keterampilan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik yang dilandasi dengan nilai-nilai demokratis dan etis.
  4. Mampu berpartisipasi secara aktif dan proaktif terhadap berbagai persoalan yang menyangkut publk yang disebabkan oleh kebijakan politik.
  5. Ikut serta dalam menciptakan dan mengembangkan kultur demokratis.
Indikator Kompetensi :
  1. Mahasiswa dapat menjelaskan arti dan makna politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  2. Memahami pengaruh kekuasaan politik pada kelembagaan-kelembagaan politik yang ada.
  3. Dapat menjelaskan makna kewenangan dan legitimasi dalam proses politik di Indonesia.
  4. Mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan publik yang diakibatkan oleh pengaruh dan proses politik.
  5. Mampu merumuskan proses penyelesaian konflik secara damai, etis dan demokratis.
  6. Mampu merumuskan nilai-nilai politik yang demokratis dan berkeadaban.
  7. Dapat menjelaskan prinsip-prinsip partisipasi yang lebih bertanggung jawab dalam proses politik.
  8. Mampu menganalisis peluang dan tantangan pembangunan di bidang politik
Pokok bahasan :
  1. Pengertian politik
  2. Sejarah perkembangan ilmu politik
  3. Konsep dan teori ilmu politik
  4. Kekuasaan dan pengaruh politik
  5. Kewenangan dan legitimasi struktur politik
  6. Kepemimpinan politik
  7. Keputusan politik dan kebijakan umum
  8. Konflik dan proses politik
  9. Perilaku dan partisipasi politik
  10. Pendidikan politik
  11. Nilai-nilai politik
  12. Analisa politik
Referensi :
  1. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
  2. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1992
  3. Affan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
  4. Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988
  5. Ipong S. Azhar, Benarkah DPR Kita Mandul, Biograf Publishing, Yogyakarta, 1997
  6. Robert A. Dahl, Analisa Politik Modern, Dewaruci Press, Jakarta, 1980
  7. Inu Kencana Syafe’I, Pengantar Ilmu Politik, Remaja Rosda Karya, bandung, 1998