Senin, 07 Mei 2012

ASAL-USUL SUKU BELU


TUGAS
TENTANG ASAL – USUL SUKU BELU

Disusun Untuk Memenuhi Tugas  Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar




JANSEN L. SERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADYAH KUPANG
JURUSAN : KESEJAHTERAAN SOSIAL
2012
ASAL - USUL SUKU BELU
PENDAHULUAN
Belu merupakan salah satu kabupaten yang terletak di pulau Timor/Nusa Tenggara Timur yang  berbatasan  langsung dengan negara Timor Leste. Luas Kabupaten Belu 2445,6 km2.
Ibu kota kabupaten Belu, Atambua sebuah kota kecil yang terletak 500 meter diatas permuksaan laut. Jarak Kupang dan Atambua lebih kurang 290 km.
Konon  nama Atambua berasal dari kata Ata (Hamba), Buan (Suanggi/tukang sihir). Dari legenda diceriterakan adanya hamba yang berani berontak dan melepaskan ikatan tangan (borgol) sehingga tidak terjual lewat pelabuhan Atapupu, dan  malahan  akhirnya  menyingkir saudagarnya. Nama kota ini kembar dengan Atapupu (pelabuhan terletak 24 km arah utara Atambua) dari kata Ata (hamba) Futu (ikat) yang berarti hamba yang diikat siap dijual.
Masyarakat Belu yang terdiri dari beberapa suku bangsa memiliki pelapisan sosialnya sendiri. Sebagai contoh masyarakat Waiwiku dalam wilayah kesatuan suku MaraE. Pemegang kekuasaan berfungsi mengatur pemerintah secara tradisional, pelapisan tertinggi yaitu Ema Nain yang tinggal di Uma Lor atau Uma Manaran,  mereka adalah raja. Lapisan berikutnya masih tergolong lapisan bangsawan (di bawah raja) yaitu Ema Dato, kemudian lapisan menengah Ema Fukun sebagai kepala marga. Lapisan terbawah dan hanya membayar upeti dan menjalankan perintah raja, bangsawan maupun lapisan menengah disebut Ema Ata (hamba). Pada masyarakat MaraE lapisan social tertinggi disebut Loro.
Mata pencaharian orang Belu tidak beda dengan  masyarakat TTU, dan TTS, yaitu menanam jagung, umbi-umbuan, kacang - kacangan dan sedikit pertanian padi, serta bertenak sapi, babi. 









Tarian Likurai
http://www.atambua-ntt.go.id/images/likurai.JPG
Tari Likurai
Salah satu dari sekian kebudayaan daratan Belu adalah Tarian Likurai, yang pernah memukau warga ibukota Jakarta di tahun 60-an.
Tarian Likurai dahulunya merupakan tarian perang, yaitu tarian yang didendangkan ketika menyambut atau menyongsong para pahlawan yang pulang dalam perang. Konon, ketika para pahlawan yang pulang perang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal (sebagai bukti keperkasaan) para feto (wanita) cantik atau gadis cantik terutama mereka yang berdarah bangsawan menjemput para pahlawan dengan membawakan tarian Likurai. Likurai itu sendiri dalam bahasa Tetun (suku yang ada di Belu) mempunyai arti mungasai bumi. Liku artinya menguasai, Rai artinya tanah atau bumi. Lambang tarian ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah menguasai atau menaklukkan bumi, tanah air tercinta.
Tarian adat ini ditarikan oleh feto-feto dengan mempergunakan gendang-gendang kecil yang berbentuk lonjong dan terbuka salah satu sisinya dan dijepit di bawah ketiak sambil dipukul dengan irama gembira serta sambil menari dengan berlenggak-lenggok dan diikuti derap kaki yang cepat sebagai ekspresi kegembiraan dan kebanggaan menyambut kedatangan kembali para pahlawan dari medan perang. Mereka mengacung-acungkan pedang atau parang yang berhias perak. Sementara itu beberapa mane (laki-laki) menyanyikan pantun bersyair keberanian, memuja pahlawan.
Konon kepala musuh yang dipenggal itu dihina oleh para penari dengan menjatuhkan ke tanah. Proses ini merupakan penghinaan resmi kepada musuh. Selain itu para pahlawan tadi diarak ke altar persembahan yang sering disebut Ksadan. Para tua adat telah menunggu di sini dan menjemput para pahlawan sambil mencatat kepala musuh yang dipenggal itu serta menuturkan secara panjang lebar tentang jumlah musuh yang telah ditaklukkan sampai terpenggal kepalanya diperdengarkan kepada khalayak ramai untuk membuktikan keperkasaan suku Tetun.
Pada masa kini, tarian tersebut hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau pada upacara besar atau acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan, maka terlebih dahulu diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau tambur-tambur itu dari tempat penyimpanannya.
Dalam Tulisan ini , kita hendak menyelidiki sekedarnya soal asal-usul suku Belu, yang menghni hampir seluruh Kabupaten Dati II Belu. Suku Belu ini berbahasa Tetun, suatu bahasa yang sederhana dan mudah untuk di mengerti. Bahasa Tetun ini mempunyai persamaannya dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia ini. Tetapi mengenai bahasa Tetun ini kita akan bicarakan sendiri. Disini kita akan bataskan diri pada pokok: Asal-usul Suku Belu.
Bagian pertama kita akan uraikan sebagai berikut:
Ø  “Asal-usul orang Belu menurut cerita-cerita yang diwariskan sampai sekarang di daerah Belu,” kemudian kedua:
Ø  “ Asal-usul orang Belu menurut penyelidikan sarjana-sarjana Imu Bangsa-bangsa dan penyelidikan lainnya.


I.            Asal-usul orang Belu, menurut cerita-cerita yang diwariskan sampai sekarang di Daerah.
MALAKA adalah : tanah asal-usul Belu. Sedari masih kecil bila kita mendengar makoan-makoan dan orang tua-tua atau pemuka adat membawa syair Tetun HOLA LIA NAIN, maka kita sering mendengar SINA MUTI MALAKA LARANTUKA BABOE. Bila mereka menyebut nama ini, tiap orang terus tahu, yang dimaksutkan ialah : Tanah Asal Nenek Moyang Beluyang dulu berlayar dari Malaka, meninggalkan tanah airnya dan mencari tempat baru untuk dihuninya. Nenek oyang suku Belu dari Malaka dalam pelayarannya ke Timor, melalui Larantuka.
Berikut ini adalah kumpulan bermacam-macam cerita dari makoan-makoan dan pemuka-pemuka adat di wilayah Belu, baik berasal dari Belu utara maupun dari Belu Selatan. Ini di kumpulkan oleh R.B.A.G. VROK LAGE SVD (±1952) dalam kerjasama dengan para makoan dan beberapa guru, antara lain Bupati Daswati II Belu sekarang (hingga tahun 1968) A.A BERWE TALLO, yang mahir berbahasa Belanda dan bertugas sebagai penterjemah untuk P. VROK LAGE.
1.      Menurut  Makoan-makoan dari FATUARUIN:
Mula-mula dating nenekmoyang tiga bersaudara dari Malaka Likansala melalaui Larantuka (Flores) terus ke Kupang, dari dari Kupang ke Fatumea melalui Hali knain Kalilin dan terus ke Marlilu. Nama ketiga nenek bersaudara itu : NEKIN MATAUS ke Likusaen, SAKU MATAUS ke kerajaan Sonbai, dan BARA MATAUS tinggal di FATU ARUIN.

2.      Cerita kedua berasal dari DIRMA:
Menurut makoan disitu : Bei Taeko yang bertempat tingal di Malaka mengirim tiga orang anaknya lelaki yang berlayar dengan kapal ke Timor, bersama dengan pengikut-pengikutnya. Dari Sinamuti Malaka mereka berlayarmelalui Betawi dan Batavia, Kalaban atau Kalabahi, Larantuka-Flores, Babo-Dilly parasa terus ke Boonaro. Mereka lalu ke Fatumea Raioan atau daerah Portugis. Ketiga putra itu bernama : LOROSANGKOE, LOROBANLEO, dan LORO SONBAI. Yang pertama tinggal di Debululik atau Welaka, yang ke dua di sanleo atau Dirma, dan yang ketiga ialah LORO SONBAI, terus kebagian barat timur ialah kebagian Dawan. Kemudian membawa lima orang yang dianugerahkan Tuhan: HARE LOROK, BATAR LOROK, MELI (AIKAMELIN), LOROK dan BUI LOROK serta TORA LOROK.
Kelima orang tersebut di tanam hidup-hidup dalm tanah ke sampai Timor. Dalam tempo beberapa hari saja tumbuhlah jagung, padi dua maca, jewawut atau tora, kayu cendana atau aikamelin, di kebun-kebunnya. Kesimpulannya dan cerita ini ialah jagung, padi, kayu cendana, jewawut, dibawah oleh nenek moyang itu dari tanah asal Sinamuti Malaka, dan kebun tempat lahan pertanian bagi kelima orang itu namanya TOOS KUKUN.


3.      Dari NAETIMO:
Menurut makoan-makoan dari Naetimo nenek moyang pertama asalnya dari Sinamuti Malaka, melalui Larantuka atau Larantuke, Bauwoe, Parasa atau Timor Dili terus ke Lakaan dari situ terus ke Nainait. Di nainait mereka menetap. Nenek moyang itu bernama AGON dengan isterinya LURUK. Mereka mempunyai anak, dan anak-anak itu membentuk Fukun Hat atau Uma Hat yakni: Empat suku yang terkenal dengan nama RIN BESI HAT, UMA KAKALUK KMESAK, UMA FUTUHUR, UMA SUKUR SOU, dan UMA DIN DULUR. Nenek moyang pertama menemui suku asli Belu yakni : MELUS di Naijait.

4.      Dari DAFALA:
Menurut Dato Katuas Tafala atau nenek moyang TITUS MORUK, nenekmoyang pertama itu dating dari Sinamuti Malaka melalui Ninobe Raihenek atau Makasar, terus ke larantukadan Bauwoe sebuah tempat di Larantuka. Tapi sebelum ke Larantuka mereka dari Makasar melalui Palu Kusu atau dekat dengan kepulauan Kei, pulau loi, pulau Abe, dan pulau Kae atau Kei. Mereka mendarat di Hale, LeonSumamar di dekat Timor Dilimereka lantas menyusur Mot aloes atau sungai Loes, terus Ke Siata mauhalek di Lasiolat. Berjalan terus ke ren Lakmau, dari situ terus Tua Lasi-Lasi Olat baru kemudian terpencar keseluruh Belu. Nenek moyang pertama umumnya mendarat dibahagian pantai utara Belu. Dikatakan pertama nenek moyang itu keluar dari batu, ini dimaksudkan mereka bertempat tinggal dalam gua-gua batu ketika belum diperdirikan rumah-rumah yang baik pada saat pertama kali orang di Belu, yang sama seperti cerita makoan-makoan di Dirma.
Kedua nenek moyang pertama yang terkenal sebagai Bot Leten dan Bot kraik ialah Bei Lelar dan Bei Seran Taek, yang punya anak-anak para Lelar dan Abu Lelar serta Asa Taek dan mau Taek.


5.      Dari LASIOLAT:
Menurut makoan-makoan yang mula-mula menghuni daerah Fialaran-Lasiolat sebelum kedatangan nenek moyang suku Leowes dan Asutalin dari Malaka ialah suku Melus, nenek moyang yang pertama orang Melus bernama LERA BAUK  dengan istrinya bernama LENA BAUK. Mereka dianggap penduduk sli Belu sebelum datangnya suku Belu dari Malaka. Suku-suku yang datangnya dari Malaka ialah suku Leoklaran, suku Leowes, dan suku Asutalin. Dari Sinamuti Malaka mereka berlayar terus ke Larantuka –Bauboe, terus ke Hasan Maubesimendarat di Weto ke Lakaan dan dari situ ke Mota Weluli Mauhalek. Mereka menemukan seorang Melus pertama yang mendirikan rumahnya di Nawan Ruas, Aufatuk. Disebut Aufatuk karena rumahnya terbuat dari bambu dan batu. Pemuda-pemuda suku Leowes mengawini gadis-gadis dari suku Loro Bauho, bernama Balok Lorok dan Ello lorok. Mereka lalu pindah dengan anak-anaknya ke Dualasi dimana orang-orang Melus dan Asutalin sudah lebih dahulu membuat kampungnya. Dualasi kemudian mendapat nama Dualasi Sosebauk. Orang-orang pertama yang mendarat di Timor ialah Luli Luan dan Lete Luan. Asutalin juga kemudian mendarat di pantai selatan Belu. Tempatnya yang lain ialah Aidikur dari situ juga mereka ke Lakaan dan terus ke Dualasi.  Dari malak Asutalin bawa serta anjing. Suku Asutalin haramm makan daging anjing dan tidak membunuhnya.
Nenek moyang suku Leoklaran dating lebih dahulu dari suku Leowes, dan Asutalin dan mengalahkan suku Melus ke Tasimane lainnya dibunuh dan hanyut terbawa arus. Yang sisanya masih ada di Haliren, Aikamelin, rend an Motaain. Dalam mengalahkan suku Melus itu ada kerjasama dengan suku Leowes yang datang kemudian itu. Setelah suku Melus itu diusir dan dikalahkan oleh suku Leoklaran dan Leowes mula saling berebut kekuasaan ini, suku Leowes yang kemudian yang akhirnya menduduki tahta dan berkuasa sebagai raja diFialaran sampai kini. Caranya ialah bukan saling memerangi, melainkan dengan menguji ketangkasan dan kecerdasan saja. Siapa yang cepat makan ialah yang berkuasa dan waktu nenek moyang Leowes pergi mencari musang dihutan, nenek moyang Leoklaran disuruh memanjat pohon, dibawah pohon tertancap tombak mas, oleh nenek moyang Leowes. Entah bagaimana jadinya nenek moyang Leoklaran jatuh dari pohon dan persis perutnya tertikam pada tombak mas tadi, dengan itu nenek moyang Leowes yang berkuasa . Namun selanjutnya hubungan antara suku Leowesa dan suku Leoklaran , pun sampaikini tetap erat lebih dipererat oleh perkaeinan antara dua suku.

6.      Dari ASUMANU:
Menurut makoan dari Asumanu nenek moyang pertamanya datang dari Malaka dengan sebuah kapal namanya Batarian, mendarat dipuncak Lakaan yang merupakan daratan yang muncul waktu itu dari air (agaknya yang lain masih merupakan tempat yang masih digenagi air laut). Kapten kapal itu namanya Mangelains, apakah itu yang dinamakan dengan Magelhaens??



7.      Dari AITON:
Menurut makoan-makoan dari Aitoun nenek moyang pertama datang dari Sina Mutin Malaka dengan tiga buah kapal:
a.       Kapal yang dijuluki dengan Ro Manu Lain, Biduk Manu Lain.
b.      Rokfautahan, Biduk Kfautahan
c.       Ro Mara Does, Biduk Mara Does. Tempat lainnya disebut HeranBa weluli, Aitoun rua mane, Foho sabu Lakan kaisahe.

8.      Dari MAUMUTIN:
Makoan-makoan maumutin menceritakan tentang asal-usulnya bahwa nenek moyang pertama datangnya dari Sina (Siam/birma) dan dari Sina Mutin  Malaka Melalui Larantuka Baboe, lamahala (Adonara) Lamahera (lomblen) terus ke Kamera (dekat Timor Dili). Kemudian kembali ke Lamalera untuk mengambil istri dari sana. Kemudian mereka kembali lagi ke Sina Mutin Malaka karena tidak dapat istri di Lamalera. Dimalaka mereka dapat memperoleh istri dengan kayu cendana yang dibawanya. Di Maumitin sendiri kayu cendana tidak ada karena itu kemudian nenek moyang pindah ke Maukatar didaerah bagian portugis . Untuk memperingati nenek moyang yang datang dengan tiga kapal itu, didirikan tiga foho (tugu kecil) : Foho Liurai, Foho Tahan Leki Bauk Leowalu.

9.      Dari LIDAK:
Nenek moyang datang dari Sina MUtin Malaka melalui Larantuka Baboe We bau, Asufuik, Maubesi, Wehali lalu terus ke Lidak. Sumber lainnya menggatakan mereka mendarat dipantai utara Timor di Timor Dili Parasa. Dari Parasa mereka juga membawaair dan ketika mereka mendarat direceki tempat itu denga air. Mereka hanya mengetahui bahwa orang melus bertempat tinggal di  Silawan. Kemudian menyusul lagi beberapa suku yang kelak akan berkuasa di Belu. Mereka datang dari Malaka nenek moyang ada tujuh pasang, empatnya tinggal di Malaka tiganya berlayar ke Timor melalui Larantuka-Bauboe, satunya tinggal di Fatumea, kedua tinggal di Leowalu (dimarae0 dan yang ketiga tinggalnya di Motaain, namanya Dasi Bada Rai.

10.  Sabu Mau-Belu Mau dan Timau:
Adalah suatu yang sangat populer dikalangan penduduk Belu dan Sabu Rote ialah mengenai asal-usul mengenai nenek moyang suku Belu dan Sabu Rote. Demikian sudah dari kecil kami sudah mendengar cerita tentang Belu Mau, sabu Mau, dan Ti Mau dari orang tua dan kakek kami. Ketiga nenek ini adalah beradik kakak. Sabu Mau dan Ti Mau bersama dengan seluruh keluarganya berlayar dengan kapal ke Timot dan mendarat di bagian utara Belu yakni di teluk Gurita (di Atapupu) yang turun kedarat untuk mencari tempat tinggal baru di daerah Belu sekarang ialah Belu Mau dengan keluarganya. Sedang kedua nenek Sabu dan Ti Mau berlayar terus kearah barat Timor, menyususr pantai untuk mencari tempat tinggalyang baru dan tempat dan untuk di milikinya. Tapi sebelum ketiganya berpisah, diadakan perjanjian berikut : “Bila kelak mereka bertemu kembali atau anak-anak maupun turunan mereka, tidak boleh saling mengawini, tidak boleh saling berperang, saling mnerima dan menganggap sebagai kakak-beradik atau saudara-saudari sekeluarga saja”.  Perjanjian ini masih di ingat samapai dengan saat ini, meskipun masih ada praktek kawin mwin sudah sering terjadi antara suku Belu dan suku rote. Untuk saling memerangi atau berkelahi sampai sekarang ini, masih tetap dihindarkan mengingat perjanjian ketiga nenek bersaudara tadi.

II.            Asal-usul suku Belu (Sabu – Rote) menurut penyelidikan
Ahli-ahli Ilmu Bangsa-bangsa dan Ahli-ahli lainnya.
Sudah banyak ahli-ahli yang menyeliki suku Belu (dan Rote), disamping penyelidikan – penyelidikan utama, seperti: Grijzen, H.J. (mededeelingen Omret Beloe of midden Timor. V.B.G., Batavia, vol.54, Bag.III) dan vrok lege. B.A. (1953) : Ethnogogihie der Belu in zentral Timor, Leiden, dalam 3 jilid. Dalam menyelidiki Suku Belu mereka dari pandangan yang hampir serupa. Demikian seperti :

1.      Heijmering G. (Geschiedenis van Timor, 1847, vol. 9, bagian III, pg. 1 – 62 dan 121 -232), dan veth, P.j. (Het eiland Timor, De Gids, Amsterdam, Vol.19. Bgn. I, pg. 545 – 611 dan 695 – 737 : bgn. 55 – 100), dalam tahun 1985”, dan juga Bastian A. (1885 – Timor Und Umliegende Inseln. in Indonesian oder die inseln des Malayischen Archipels, Berlin, Lieferung 2, pg. 1 -31). ketiga penyelidik itu berpendapat bahwa, bahwa ada perbedaan yang nyata antara suku Belu dan suku asli Timor : susku Atoni. menurut mereka suku Atoni lebih mirip dengan orang Papua, sedang suku Belu punya kesamaan yang besar dengan penduduk di bagian barat indonesia.

2.      Menurut pandangan-pandangan antopolog modern : Timor serta pulau-pulaunya adalah suatu daerah peralihan di mana bertemu dan saling pengaruh antara komponen ras Melayu Indonesia denganras Melanesia (in sensu lago). Agaknya suku marae dan kemak menunjukkan elmen Melanesia yang lebih tua, dari pada suku Belu dan Sabu Rote yang baru masuk kemudian di Timor. Suku Belu dan Rote nyatanya memiliki tempat tinggi yang paling tampan, ditanah rata sepanjang pantai dan terus ke pedalaman, namun di sepanjang lembah sungai lalu sepanjang jalan. Antropolog-antropolog sependapat bahwa unsur Melanesia nampak sangat kuat pada penduduk asli Timor : suku Atoni di Dawan (orang pegunungan yang jumlahnya kira-kira 300.000 penduduk mendiami daerah-daerah pegunungan Timor Indonesia. Tokoh badan mereka agak berlainan dengan tetangga-tetangganya: suku Belu-Sabu-Rote dan Kemak Marae. Mereka agak pendek dengan bentuk tengkorak Brachichepel (tengkorak pendek) dengan warna kulitnya coklat kehitam-hitaman, rambutnya keriting, sangat mirip orang-orang papua. (cf. ormeling, F.J. Dr. The Timor problem, 1957 hal. 66-67).



3.      Menurut penyelidikan Biljmer, H.J.T. (outlines of Antropology of the Timor Archipelago, Weltevreden-Batavia, 1929, pg. 92-92-95—97-99), bahwa pada individu-individu suku bangsa Belu nampak ciri-ciri ras Negroit secara berdampingan atau campur baur. Sedangkan pda suku Atoni (dawan) nampak ciri-ciri Melanesoit dan Australoid. Dia berkesan bahwa pada suku Atoni ia tidak rasa lagi bahwa ia di antara orang Melayu. Mereka merupakan kesatuan. Dia menyelidiki juga suku Manggarai dan mendapatkan adanya ciri khas tipe semitis pada mereka. Pada suku Ngada terdapat tipe Melanesoid. Pada suku Adonara (dan Flotim) ada tipe semitis, Negroid dan Papua. Demikian Biljmer.

4.      Menurut nona Keers W. (an Antropological Survey of the estern litllesunda island Mededeelingen no. 74 diterbitkan oleh Koninklijke verehining indisch institut, Amsterdamtahn 1948) bahwa ciri-ciri Melanesia agaknya tersebar dibanyak tempat di Timor. Tetapi yang dianggapnya utama ialah apa yang dinamakan proto Melayu yang besar pengaruh di Timor. Tapi yang dianggapnya utama ialah apa yang dinamakan Elemen proto Melayu, yang bear di Timor, dan rasini yang membentuk penduduk sekarang juga. Inilah juga pendapat Biljmer (1929) dan Lamres (1948) yang memastikan bahwa unsur Melayu yang lebih muda benar-benar terdapat di daerah Belu selain unsur Melanesia.
5.      Mengenai suku Marae dan Kemak, yang ada di Belu Menurut Grijzen (1904) kira-kira mereka sudah tinggal lama di Belu.

6.      Menurut Nona Keers (1948) susku Marae Kemak, yang ada di Belu berbeda dengan suku Melayu Indonesia karena frekwensi yang tinggi dan tengkorak kepala yang berbentuk Delichecephalik (tengkorak lonjong) dan tokoh badan yang jauh lebih tinggi.

7.      Menurut Capel (1944) bahwa Buna(bahasa Marae) mirip sekali dengan bahas-bahasa papua. Sedang menurut Nona Keers 91948) susku Kemak punya pertalian erat dengan suku Marae. Bahasanya mirip sekali dengan bahasa Buna (caell 1944).

8.      Mengenai suku Rote-Sabu seperti telah di katakan tadi seasal dengan suku Belu. Mereka datang berkelompok-kelompok, lain turut Flores lainya lagi via Timor. Tanah asalnya pulau Seram (?) menurut ten Kate (1849) bahasa dan kebudayaan Rote sama dengan Belu. Hanya Rote mempunyai unsur Melayu lebih kuat.

9.      Terra (1953) punya anggapan bahwa yang mula-mula punya usaha sawah dan ladang ialah suku Belu.

10.  Dalam ENCHIKLOPEDIA VAN NEDERLANDS OOST INDIE IV LEIDEN, 1921 pda halaman 323, dibahas juga tentang penduduk dari Malaka melalui Sulawesi-Flores (larantuka) terus ke Timor. Juga tentang adat-istiadat Belu dan keadaandaerahnya.

11.  H.K.J. Cowan (1963) menyelidiki, bahwa bahasa Buna termasuk salah  satu bahasa Irian Barat. Diantara lain menyebut beberapa kata seperti (n) iri, su, batohul, bi, pana, per, nei, ei, yang mirip betul dengan kata-kata dalam bahasa Irian Barat. (cf. Eydarg. T.,1. en volk, jgr. 1963, pg 387 - 400) sedang Louis Berthe (1959) dalam penyelidikannya di Lamaknen mendapat kepastian juga bahwa dalam bahasa Buna terdapat kata-kata yang mirip dengan kata-kata Melayu purba (Deutero Melayu).  (cf. Eydarg. T.,1. en volk, 1959, pg 336 dan seterusnya).

12.  Abdul Hakim (1961),  juga memuat karangannya tentang Timor, di dalamnya dituliskan tentang apa yang di dengarnya sendiri mengenai asal-usul orang Belu yang datang dari Malaka dan adat istiadatnya di Timor, di Belu khususnya.






DAFTAR PUSTAKA
1.      AGENDA BUDAYA PULAU TIMOR (1) Pr. Piet Manehat SVD, Gregor Neonbasu SVD (ediror). Komisi Komunitas Sosial Propinsi SVD Timor.
2.       (Sumber : Tamanbudayantt.org) Website Propinsi Nusa Tenggara Timur.
3.       (Sumber : Usman D. Ganggang, tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Indonesia Indah No. 42/1992)

Selasa, 15 November 2011

BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA

BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA

BADAN EKSEKUTIF
Badan eksekutif di Negara Negara demokratis biasanya terdiri dari presiden , menteri , pegawai negeri sipil dan militer
Presidential : Menteri menteri merupakan pembantu presiden dan langsung dipilih olehnya
Parlementer : Para menteri dipimpin seorang perdana menteri yang bertanggung jawab
terhadap parlemen sedangkan raja dalam monarki adalah bagian dari badan
eksekutif yang tidak tergugat
Badan eksekutif lebih cepat dalam bertindak dan pengambilan keputusan karena anggota yang sedikit sedangkan Legislatif cenderung terlalu lama dalam pengambilan tindakan dan keputusan karena jumlah anggota yang relative banyak
BADAN LEGISLATIF
Legislate : membuat undang undang . Sebutan lain People’s representative Body atau DPR. Teori = rakyat yg berdaulat punya “kehendak” ( general Will ) Keputusan yang diambil DPR merupakan suara yang authentic dari general will tersebut. Badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam bentuk undang undang.
BADAN YUDIKATIF
Trias Politika dalam arti aslinya adalah pemisahan kekuasaan yang mutlak ( separation power ) baik mengenai fungsi dan tugasnya maupun organ yang menjalankan nya . Tapi di zaman modern ini tugas Negara sudah sedemikian kompleks sehingga trias politika hanya diartikan sebagai pembagian kekuasaan ( distribution power ) yang artinya hanya ungsi pokok nya yang dipisahkan sedang selebihnya saling berkaitan satu dengan lainnya.
BADAN YUDIKATIF DI NEGARA DEMOKRASI
Sistem Common law : Menjadikan undang undang yang di buat oleh parlemen serta keputusan keputusan yang telah dirumuskan hakim pada zaman dahulu ( case law , Judge made law ) sebagai sumber hukum yang berlaku. Di Negara Negara yang mempunyai system tersebut tidak memiliki system hukum yang telah dibukukan, Hakim berkedudukan sebagai suara undang undang ( la voix de la loi ) hanya menerangkan saja hukum apa yang berlaku dalam suatu perkara. Sistem ini hampir mirip dengan hukum perdata adat tak tertulis.
Sistem Civil Law : Menjadikan undang undang hanya sebagai satu satunya sumber hukum yang biasa dikenal dengan istilah Positifisme perundang undangan ( legalisme ). Tetapi apabila terjadi sebuah perkara yang tidak diatur dalam undang undang maka hakim bebas memberi keputusan yang tidak terikat oleh keputusan hakim hakim terdahulu ( Precedent ).
Pada dasarnya dalam secara teotitis seorang hakim berhak member keputusan baru terlepas dari jurisprudensi ( keputusan hakim terdahulu terkait masalah yang serupa ) atau undang undang yang biasa mengikatnya.


BADAN YUDIKATIF DI NEGARA KOMUNIS
Pandangan komunis terhadap badan yudikatif didasarkan atas sebuah konsep yang dinamakan Soviet legality, berkaitan pula dengan tahapan tahapan menuju sebuah Negara berpaham komunis yang berawal dari sebuah paham sosisalisme. Adapun realisasi dari sosialisme tersebut merupakan unsure terpenting dalam menentukan kehidupan kenegaraan serta peranan hukum didalamnya. Karena paham itulah maka seluruh aktifitas termasuk alat alat kenegaraan, penyelenggaraan hukum dan badan yudikatif merupakan sarana untuk melancarkan perkembangan kearah komunisme. Adapun tingkat tingkat penerapan nya dalam system hukum berbeda beda menurut tempat.
Hongaria lebih menekankan kekerasan pada musuh musuh komunisme sebagaimana tercantum dalam undang undang pasal 41
Di Uni Soviet system social dan ekonomi sosialis lebih di tekankan, sehingga perlindungan terhadap hak hak asasi di uni soviet hanya sebatas bila kepentingan individu tersebut tidak mengganggu idealism Negara kea rah komunis.
BADAN YUDIKATIF DAN JUDICIAL RIVIEW
Satu ciri yang terdapat di kebanyakan Negara, baik yang memakai system Common Law maupun system Civil Law ialah hak menguji (toetsingscecht) yaitu menguji apakah peraturan-peraturan hukum yang lebih rendah dari undang-undang sesuai atau tidak dengan undang-undang yang bersangkutan. Di Amerika Serikat, India dan Jerman Barat, Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk menguji dan menolak pelaksanaan undang undang serta peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan undang undang dasar ( Judicial review )
KEBEBASAN BADAN YUDIKATIF
Dalam doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan maupun sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap Negara hukum, badan yudikatif haruslah bebas dari campuran tangan badan eksekutif. Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bebas di bawah Rule of Law. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan eksekutif, legislative ataupun masyarakat umum di dalam menjalankan tugas yudikatifnya.
Cara yang dinilai efektif dalam menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif adalah pemilihan pejabat kehakiman dilakukan tidak berdasarkan pemilihan seperti halnya pada jabatan legislative dan eksekutif dengan harapan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh politik suatu massa.
KEKUASAAN BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA
Asas kebebasaan yudikatif di Indonesia berdasarkan pada Pasal 24 dan 25 UUD 45 tentang kehakiman yang menyatakan :” Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu maka harus diadakan jaminan dalam undang undang tentang kedudukan para hakim.”

Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan nya di masa demokrasi terpimpin terjadi beberapa penyelewengan diantaranya
1. Penetapan UU no. 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menyatakan :” Demi kepentingan revolusi, kehormatan bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut campur dalam soal pengadilan.”
2. Pemberian status Menteri pada Ketua Mahkamah Agung. Dengan demikian terjadi peralihan fungsi struktur dari badan yudikatif menjadi badan eksekutif, tetapi kemudian pada masa orde baru mulai di koreksi dan diadakan perubahan.
Akibatnya timbul beberapa aksi atas penyelewengan tersebut diantaranya Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia ( KASI ) yang mendesak pemerintah untuk mengakui adanya hak menguji pada Mahkamah Agung.
Oleh karena itu MPR yang merupakan lembaga tertinggi di Negara melalui sidang ke 4 nya mengeluarkan TAP MPRS no. XIX tahun 1966, tentang peninjauan kembali produk produk legislative di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 45.
KEKUASAAN YUDIKATIF DI INDONESIA SETELAH MASA REFORMASI
kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa reformasi. Amandemen Undang-Undang Dasar disahkan pada tanggal 10 November 2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman bab IX membuat beberapa perubahan (Pasal 24 A,B,C) kekuasaan kehakiman terdiri atas mahkamah Agung dan mahkamah konstitusi. Mahkamah agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Tugas mahkamah konstitusi mempunyai kewenangan meguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
MAHKAMAH KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk :
1. Mengadili pada tingkat pertama yang keputusannya bersifat final :
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
- Memutuskan sengketa kewenengan lembaga Negara
- Memutus pembubaran partai politik
2. Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan Wakilnya.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing- masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden, ketua dan Wakil Mahkamah Agung dipilih oleh hakim konstitusi. Hakim tidak boleh merangkap jabatan.
MAHKAMAH AGUNG
Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada di lingkungan militer, agama, umum, dan tata usaha Negara. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang undangan di bawah undang undang terhadap undang undang sesuai pasal 24 A.
Calon hakim agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR , kemudian di tetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
KOMISI YUDISIAL
Suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri, yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rangka menegakkan kehormatan dan perilaku hakim. Anggota KY diberhentikan dan dan diangkat oleh presiden sesuai persetujuan DPR. ( pasal 24 B )
Sesuai amandemen UUD 45, maka terjadi perubahan kekuasaan kehakiman yang menyebabkan timbul beberapa permasalahan diantaranya :
1. Tidak adanya kejelasan status terhadap pengadilan yang sudah ada terlebih dahulu seperti pengadilan niaga, pengadilan Ad Hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syari’ah NAD, dan pengadilan adat otonomi Papua.
2. Belum adanya tempat pengadilan Khusus untuk masalah tertentu seperti korupsi, pertanahan, dan perburuhan.
Karena badan hukum yang sudah ada belum mampu untuk menegakkan supremasi hukum dan modernisasi hukum maka di bentuklah beberapa lembaga lembaga baru
1. KOMISI HUKUM NASIONAL ( KHN )
keputusan presiden nomor 15 tahun 2000 tanggal 18 Februari 2000. Pembentukan komisi ini adalah untuk mewujudkan system nasional demi menegakkan supermasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melibatkan unsure masyarakat.
2. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
Merupakan respon pemerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat terhadap kinerja dan reputasi kejaksaan maupun kepolisian. UU no. 30 tahun 2002
3. KOMINSI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Sebagai mekanisme nasional untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Didirikan pada 15 oktober 1998 berdasarkan KEPRES no. 181 tahun 1998
4. KOMISI OMBUDSMAN ( KON )
Berperan sebagai pemantau pelayanan umum yang di jalankan oleh instansi instansi pemerintah agar berjalan baik.

SistemPolitik Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini
Ginandjar Kartasasmita
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Pendahuluan
Sebuah aspek penting dalam proses transisi Indonesia menuju demokrasi adalah reformasi di bidang ketatanegaraan yang dijalankan melalui perubahan konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat perubahan konstitusi yang muncul  berupa supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, penyelenggaraan otonomi daerah dan pengaturan hal-hal yang mendasar di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Semua itu direfleksikan sebagai konsensus politik bangsa yang dituangkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan Undang-Undang Dasar juga telah mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, yang selama ini diselenggarakan oleh  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ciri lain yang sangat penting juga ialah bahwa Presiden sekarang dipilih secara langsung oleh rakyat,  tidak lagi oleh MPR. Lembaga MPR juga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi tetapi hanya salah satu diantara lembaga-lembaga negara yang sejajar. Semangat dalam demokrasi memang tidak boleh mengindikasikan adanya  lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi yang tidak terbatas seperti lembaga MPR di waktu yang lalu.
Reformasi Sistem Ketatanegaraan Melalui Amandemen UUD 1945
Konsensus politik bangsa dalam perubahan sistem ketatanegaraan dapat dilihat dengan perbandingan struktur atau konstruksi kekuasaan di Indonesia saat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. Sebelumnya, kita mengenal MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara sedangkan  Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK merupakan Lembaga Tinggi Negara dengan kedudukan yang sama sejajar berada di bawah MPR.  Selanjutnya berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia, institusi tertinggi ialah UUD 1945 itu sendiri (yang sebelumnya adalah MPR), sedangkan semua lembaga-lembaga yang merupakan lembaga negara dengan kedudukan yang sejajar. Lembaga-lembaga itu ialah lembaga legislatif terdiri dari DPR dan DPD yang seluruh anggotanya  bersama-sama berada dalam lembaga MPR; serta lembaga eksekutif yaitu Presiden; serta Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. BPK hadir sebagai  lembaga pengawasan eksternal. Beberapa lembaga yang hadir berdasarkan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga adalah Komisi Yudisial, suatu komisi pemilihan umum dan suatu bank sentral.
Gambar 1. Struktur Lembaga Negara Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945
Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum
Perubahan UUD 1945
5_gambar_1a.jpg
 
 
 
 
 
 
 
 
Struktur Ketatanegaraan RI Setelah
Perubahan UUD 1945
5_gambar_1b.jpg
 
 
 


 
 
 
 
Catatan:
Beberapa lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945:
Komisi Yudisial
suatu komisi pemilihan umum
suatu bank sentral
Berbagai Permasalahan Dalam Pelaksanaan UUD 1945 Hasil Amandemen
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hasil perubahan selama empat kali, masing-masing pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara. Pada  pelaksanaannya ternyata UUD 1945 hasil amandemen dihadapkan pada berbagai masalah. Pandangan yang muncul ialah adanya sementara pihak menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli, atau sebelum diamandemen; dan ada pula pihak yang menghendaki penyempurnaan terhadap hasil amandemen UUD berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaannya, yang meskipun belum berjalan namun telah menunjukkan adanya berbagai permasalahan. Beberapa masalah yang menonjol diantaranya indikasi perlu dilakukan reposisi kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial); dan perlu pelurusan format sistem ketatanegaraan (MPR, DPR dan DPD serta MK dan MA), di samping juga peletakan sistem presidensial untuk menjadi lebih wajar (tidak menjadi dominasi DPR). Berbagai persoalan lain seperti hak Presiden untuk menyusun kabinet, pengangkatan pejabat-pejabat yang harus mendapat persetujuan DPR sampai pada proses persetujuan duta besar asing di Indonesia serta hal-hal lain juga muncul ke permukaan. Namun,  pada kondisi sekarang, substansi pokok dalam usul amandemen kelima yang sudah mengemuka adalah mengenai struktur legislatif, untuk penegasan peran legislasi dan pengawasan DPD sebagai  lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan kita.
DPD Dalam Konstruksi Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Pelajaran dari Dunia Internasional
Kita dapat belajar dari pengalaman negara-negara di dunia, dimana semangat dan fakta disintegrasi negara menjadi salah satu fenomena mondial yang terjadi pada dasawarsa 90-an. Cukup banyak negara yang pecah berkeping-keping dengan menimbulkan luka mendalam (sering disebut Balkanisasi). Tragedi itu tentu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang menjadi amanat luhur para pendiri negara. Kecenderungan lain yang terjadi di berbagai belahan dunia sejalan dengan gejala demokratisasi, adalah meningkatnya desakan agar daerah-daerah diberi peran lebih besar dan berarti di tingkat nasional, terutama dalam merumuskan dan mengambil putusan tentang kebijakan nasional yang terkait dengan kepentingan dan urusan daerah.
Pelajaran dari Pengalaman Masa Lalu
Selama ini dan telah berlangsung puluhan tahun, kedudukan dan kekuasaan pemerintah pusat terhadap daerah sangat besar dan sangat menentukan. Berbagai urusan dan kepentingan daerah ditentukan oleh pusat tanpa cukup mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah. Kemajemukan dan kebhinekaan bangsa kurang dihiraukan sehingga banyak masyarakat di daerah merasa terabaikan dalam kehidupan nasional serta banyak daerah bahkan merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang bersumber dari daerahnya, termasuk dalam pembangunan infrastruktur fisik yang paling nyata dirasakan sangat kurang di berbagai daerah yang secara geografis berada jauh dari pusat pemerintahan nasional. Akibat dari itu memunculkan gerakan separatis di berbagai daerah seperti Aceh dan Papua; kurang berkembangnya demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal; serta berkembangnya gerakan kekecewaan dan protes di daerah-daerah dan menurunnya semangat partisipasi masyarakat. Kemajuan daerah tidak sebanding dengan perolehan dana hasil eksploitasi sumber daya daerah dan terjadi disparitas antar wilayah, kesenjangan pusat dan daerah dan antardaerah yang cukup lebar.

Berdasarkan kondisi dan permasalahan itu pada akhirnya terbangun konsensus politik untuk memperkuat suara kedaerahan sehingga terjadi pembentukan DPD  yang  sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah dan memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional. Pembentukan DPD ini dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada bulan Agustus 2001 dan dengan demikian DPD adalah lembaga yang lahir sebagai produk reformasi untuk menyuarakan kepentingan daerah.

Kita dapat mengidentifikasi dasar pertimbangan pembentukan DPD menurut ciri politik sebagaimana yang telah menjadi konsensus politik bangsa kita, tetapi juga sesungguhnya dapat kita dalami dasar-dasar teoritis yang mendukung keberadaan lembaga DPD tersebut. Secara  teoritis keberadaan DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga legislatif itu sendiri, di samping antarcabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Di samping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan.

Keberadaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan) daerah memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya memberikan implikasi harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD karena Anggota DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh rakyat, berbeda dari pemilihan Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Jelasnya, dapat dilihat dari sisi aspek keterwakilan dan dalam tata cara pemilihan Anggota DPR dan DPD tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Aspek Perwakilan dan Pemilihan
Anggota DPR dan DPD
5_gambar_2.jpg
 
 




 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Keanggotaan DPD untuk pertama kalinya dipilih pada pemilu tahun 2004 yang lalu yaitu berjumlah 128 orang yang terdiri atas 4 orang dari 32 provinsi. Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda belum terwakili. DPD dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang mencerminkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia.

DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.

Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga perwakilan, pembagian tugas dan kerja anggota DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Pembagian tugas di DPD tercermin dari alat-alat kelengkapan yang dimiliki, yakni: Empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya mencakup bidang legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Seluruh anggota, kecuali Pimpinan DPD, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc.

Selain Panitia Ad Hoc, DPD memiliki alat kelengkapan yang secara fungsional mendukung pelaksanaan tugas DPD, yakni Badan Kehormatan yang bertugas menegakkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik anggota DPD; Panitia Musyawarah yang bertugas menyusun agenda persidangan DPD; Panitia Perancang Undang-Undang yang bertugas merencanakan dan menyusun program legislasi DPD; Panitia Urusan Rumah Tangga yang bertugas membantu Pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD; dan Panitia Kerja Sama Antar Lembaga Perwakilan yang bertugas membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral.

Di samping alat kelengkapan tersebut, DPD membentuk Kelompok Anggota DPD di MPR yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan Anggota DPD dan meningkatkan kemampuan kinerja DPD dalam lingkup sebagai Anggota MPR. Di awal pembentukannya, Kelompok Anggota DPD telah berhasil menempatkan dua orang wakilnya untuk duduk sebagai Pimpinan MPR.

Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Di samping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan. Namun menjadi pertanyaan selanjutnya bahwa: Apakah harapan-harapan atas DPD RI tersebut dapat terwujud? Apakah ada keseimbangan antara harapan dan kemampuan yang dimiliki oleh DPD?

Sesuai dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, fungsi DPD berdasarkan Pasal 22D UUD 1945:
1) dapat mengajukan RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah);
2)ikut membahas RUU tertentu;
3)memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, dan RAPBN;
4)memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1));
5)melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.
Secara skematis sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Fungsi DPD RI menurut UUD 1945 Pasal 22 D
5_gambar_3.jpg
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gambaran itu menunjukkan bahwa ternyata kewenangan yang diberikan kepada DPD hanya sebatas memberi masukan kepada DPR baik dalam bidang legislasi, maupun pengawasan. Hal ini memberikan batasan yang membuat DPD tidak dapat berperan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Pelaksanaanya selama hampir setengah periode DPD berjalan sejak Oktober 2004, telah menunjukkan indikasi kesulitan DPD dalam menyelesaikan secara tuntas aspirasi masyarakat. Oleh karenanya telah tumbuh kekecewaan atas ketidakmampuan DPD mengemban aspirasi dan harapan masyarakat. Persoalannya bukan untuk DPD semata, tetapi pada ketuntasan dalam artikulasi aspirasi rakyat. Untuk itu memang masih sangat dibutuhkan pemahaman tentang konsep sistem ketatanegaraan yang mendasar dengan didukung oleh kesadaran untuk mengerti bahwa ada persoalan dalam konstruksi sistem ketatanegaraan kita. Ada permasalahan dalam sistem ketatanegaraan, yang hanya dapat diselesaikan secara kosntitusional melalui perubahan kelima UUD 1945 dengan dilandasi oleh pemahaman konseptual dan fakta yang ada di lapangan dalam sistem ketatanegaraan kita.
Tinjauan Singkat Sistem Bikameral
Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia.

Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. Karena selama ini kita tidak menganut sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa kita peroleh dari pengalaman kita sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara lain.

Sebagai referensi, kita dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan bahwa dari 54 negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok.  Dari 32 negara yang memiliki sistem bikameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti bahwa sistem bikameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali Mozambique).

Selanjutnya mari kita lihat pada spektrum negara-negara ASEAN. Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masing-masing  Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu di antara lima negara dengan sistem bikameral tersebut.

Dalam “manajemen politik seperti juga dalam bidang administrasi publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih sistem bikameral.

Di sebagian besar negara para anggota mewakili negara bagian, provinsi atau wilayah perwakilan dengan jumlah yang sama. Di sebagian negara lagi jumlahnya proporsional terhadap jumlah penduduk, sedangkan di sebagian lainnya merupakan kombinasi dari kedua kriteria tersebut. Namun ada pula yang dipilih secara nasional (tidak mewakili daerah), atau diangkat atas dasar pertimbangan lain. Keanggotaan majelis tinggi dibatasi dalam periode tertentu, ada yang sama dengan periode DPR namun banyak pula yang berbeda.

Sistem bikameral juga mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson and Mughan: 1999).

Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bikameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok yang lemah. Dari 32 negara demokrasi yang menganut sistem bikameral, antara yang kuat dan yang lemah terbagi sama masing-masing 16 negara (belum termasuk Indonesia).

Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi; makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Itali, Filipina (Mastias dan Grange:1987). Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah anomali karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia  merupakan satu-satunya negara dengan sistem bikameral yang anggota-anggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah.

Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan ongkos yang harus dibayar dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat.
Eksistensi dan Pemberdayaan DPD
Eksistensi DPD
Dengan segala keterbatasan dalam kewenangan yang ada, DPD terus berupaya untuk eksis  dan mengartikulasikan aspirasi daerah dengan sebaik-baiknya. DPD juga berupaya untuk mengambil inisiatif untuk terus mendorong ketatalaksanaan hubungan fungsi politik dengan DPR dan dengan Pemerintah atau dalam hal ini Presiden, ditandai dengan agenda politik DPD  berupa konsultasi reguler dengan Presiden dan agenda Pidato Kenegaraan pada bulan Agustus setiap tahun, sejak tahun 2005 (kurang dari satu tahun setelah DPD resmi berdiri). Setelah menjalani separuh masa tugasnya, DPD telah menghasilkan produk-produk politik berupa 106 buah Keputusan DPD yang meliputi: Pengajuan usul RUU inisiatif dari DPD 9 buah RUU antara lain berkenaan dengan pemekaran daerah (Gorontalo),  kepelabuhanan, dan lembaga keuangan mikro yang merupakan kepentingan bagi hampir semua daerah di Indonesia, dan kehutanan. Selain itu juga sudah dihasilkan Pandangan dan Pendapat DPD atas RUU tertentu yang berasal dari Pemerintah maupun DPR, yaitu sebanyak 47 buah; serta Pertimbangan DPD atas RUU bidang Pendidikan dan Agama yang berasal dari Pemerintah maupun DPR sebanyak 4 buah; serta Hasil Pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu sebanyak 30 buah; juga Pertimbangan DPD terhadap RUU yang berasal dari Pemerintah dan DPR terkait dengan anggaran yaitu sebanyak 16 buah. 
Berbagai Prinsip Pemberdayaan DPD RI
Untuk meningkatkan efektivitas dan pemberdayaan DPD dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, ada beberapa prinsip yang kiranya perlu menjadi pegangan:

  • Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR.
  • Kewenangan legislatif DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang sekarang sudah tercantum dalam UUD, dan itupun tetap bersama (share) dengan DPR (tidak mengambil alih).
  • Kewenangan legislasi DPD tersebut dapat dirumuskan dengan berbagai cara, seperti yang telah berlaku di negara-negara lain, mulai dari hak menolak, mengembalikan ke DPR atau hanya menunda pelaksanaannya.
  • Namun dalam hal kewenangan pengawasan (oversight) DPD harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan DPR, agar supaya pengawasan tersebut bisa efektif. Untuk menghindari terjadinya duplikasi dengan DPR dapat diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antara kedua lembaga tersebut. Misalnya, pengawasan DPD lebih terfokus di daerah dan DPR di pusat.
Pertanyaan selanjutnya sehubungan dengan apa yang berkembang dan apa yang menjadi faktor dasar pembatas ruang gerak politik DPD bagi rakyat banyak, terutama untuk daerah ialah, bagaimana DPD selanjutnya? Apakah dibiarkan seperti sekarang, ditiadakan atau diberdayakan secara lembaga sesuai harapan rakyat daerah?
Upaya Pemberdayaan DPD
Dengan mempertimbangkan harapan masyarakat di daerah yang amat besar terhadap DPD serta legitimasi politiknya yang tinggi, maka dalam rangka upaya untuk lebih memperkuat demokrasi di Indonesia, serta untuk memperkokoh penyelenggaraan otonomi daerah, telah tumbuh prakarsa untuk lebih memberdayakan peran (empowering) DPD, melalui amandemen ke-5 UUD 1945.

Pembentukan DPD tidak hanya agar daerah ada yang mewakili serta ikut mengelola kepentingan daerah di tingkat pusat, tetapi juga untuk meningkatkan peran daerah dalam penyelenggaraan negara. Kiprah DPD juga diarahkan untuk mengikutsertakan daerah dalam menentukan politik negara dan pengelolaan negara, sesuai ruang lingkup tugas fungsi DPD sebagai lembaga legislatif, yakni membentuk undang-undang dan penyelenggaraan pemerintahan, serta mengambil putusan mengenai besar dan penggunaan anggaran negara (terutama untuk kebutuhan daerah-daerah).

Indonesia merupakan negara besar dalam ukuran penduduk maupun luas wilayah. Dengan beragamnya kepentingan yang dilahirkan oleh sifat multietnis dan multikultur bangsa ini, diperlukan keterwakilan (representation) yang tidak hanya atas dasar jumlah penduduk, tetapi juga atas pertimbangan kewilayahan dan heterogenitas seisi wilayah dan kepentingannya, maka Indonesia membutuhkan sistem bikameral yang kuat.

Pada sisi pandang ini keberadaan fungsi legislasi secara bersama-sama merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia dimana DPR dan DPD dapat  saling mengisi dan memperkuat. Dapat kita lihat bahwa anggota DPR dipilih berdasarkan jumlah penduduk dan melalui partai-partai, maka anggota DPD dipilih berdasarkan keterwakilan daerah dan secara perseorangan. Kedua sistem ini bisa bersifat komplementer, saling mengisi, mengimbangi dan menjaga (check and balance) antar lembaga perwakilan (legislatif) berkembang bersama pemikiran-pemikiran tentang pemberdayaan DPD untuk mencapai fungsi legislasi yang semestinya sesuai kebutuhan (manner) demokrasi,  terindikasi pula kekhawatiran dari beberapa pihak akan adanya bola liar.    Ada kekhwatiran bahwa amandemen UUD 1945 untuk penguatan fungsi DPD akan diikuti dengan bola liar, antara lain misalnya berkaitan dengan Pasal 29 UUD 1945 atau masuknya Piagam Jakarta. Hal tersebut tidak dimungkinkan, karena usulan perubahan subyek di luar usulan resmi sejak awal tidak mungkin dapat berkembang dalam agenda pembahasan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dinyatakan  bahwa:
(1)Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
(2)Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Penutup
Dengan perubahan UUD 1945 Indonesia memasuki barisan negara-negara demokrasi yang menerapkan sistem bikameral dalam lembaga perwakilannya. Sistem bikameral yang efektif akan membuat kepentingan dan aspirasi daerah dapat terjembatani secara efektif dengan kebijakan di tingkat pusat. Pemberdayaan DPD bukan masalah perebutan kekuasaan atau kepentingan elit politik, tetapi adalah untuk memperkuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan rakyat.

Dengan demikian pada hakekatnya amademen untuk mencapai konstruksi ketatalaksanaan dalam sistem ketatanegaran melalui pemberdayaan DPD bagi kepentingan masyarakat daerah secara luas itu, merupakan prasyarat (pre-requisite), dan seharusnya tidak tertunda-tunda, sebagai salah satu rantai dari rangkaian reformasi yang kita percaya masih terus berlangsung di segala bidang kehidupan di Indonesia.